JAKARTA (Panjimas.com) – Ada beberapa rangkaian persidangan yang menjerat hukum kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Gerakan Fajar Nusantara ( Gafatar) pimpinan Abdussalam alias Ahmad Mushaddeq.
Di Aceh, misalnya, enam pengurus Gafatar diseret ke meja hijau karena tudingan penistaan agama pada 7 April 2014. T. Abdul Fatah ketua Gafatar Aceh divonis 4 tahun penjara oleh PN Banda Aceh. Lima pengurus lainnya yakni M. Althat Mauliyul Islam, Musliadi, Fuadi Mardhatillah, Ayu Ariestyana, dan Rida Hidayat dihukum masing-masing tiga tahun penjara.
Dibekuknya pengurus Gafatar di Aceh itu pun bermula fatwa sesat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. pengadilan, MPU mengeluarkan fatwa sesat terhadap Gafatar. Fatwa sesat yang diterbitkan 22 Februari 2015 itu sekaligus mengakhiri keberadaan Gafatar di Aceh dan memicu warga melakukan penolakan terhadap Gafatar.
Dari Aceh, penolakan Gafatar pun menyebar luas di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa cabang Gafatar akhirnya tiarap, lantaran ditolak oleh pemerintah dan Surat Keterangan Terdaftar di Kantor Kesatuan Bangsa dicabut.
Atas penolakan yang makin meluas itulah Gafatar menggelar kongres luar biasa pada 11 Agustus 2015. Hasil kongres menyepakati dua hal: membubarkan Gafatar dan melanjutkan program kedaulatan pangan, pindah ke Kalimantan.
Dalam kasus dokter Rica, dua anggota Gafatar yakni Eko Purnomo dan Veni Orinanda yang merupakan kerabat Rica dijerat dengan tuduhan penculikan Rica dan bayinya.
Pada September 2016 Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan vonis 2 tahun penjara untuk Eko dan Veni 1 tahun penjara karena dianggap melanggar Pasal 332 ayat 1 KUHP tentang melarikan perempuan di bawah umur. Jauh sebelum itu, tahun 2009 Mussaddeq pernah dipenjara karena jeratan hukum serupa, penodaan agama. ara pengikutnya yang dianggap sesat pun
melakukan tobatkan masal pada tahun 2007.
Fatwa Sesat MUI
Pada tanggal 3 Februari 2016 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, mengeluarkan fatwa sesat terhadap Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR). MUI melihat Gafatar sebagai metamorfosis dari aliran agama bentukan Ahmad Mussadeq yaitu dari al-Qiyadah al-Islamiyah menjadi Komunitas Millah Abraham (Komar).
Fatwa MUI dengan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Aliran Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) menjelaskan, Gafatar mengklaim organisasinya bergerak di bidang sosial, namun pada faktanya mengajarkan keyakinan dan pemahaman keagamaan yang meresahkan masyarakat muslim.
Diantara keyakinan dan pemahaman keagamaan yang meresahkan tersebut berasal dari ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah dan Millah Abraham, yakni menyakini adanya pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Ahmad Musadeq alias Abdus Salam Messi sebagai mesias dan juru selamat.
Selain itu juga mengingkari kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan haji; serta mencampuradukkan pokok-pokok ajaran Islam, Nasrani dan Yahudi dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan kaidah tafsir.
Seperti diketahui, aliran al-Qiyadah al-Islamiyah adalah aliran yang mengajarkan adanya syahadat baru, berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al- Mau’ud Rasul Allah”. Lalu mengakui adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, dan ketiga, belum mewajibkan shalat, puasa dan haji.
Aliran ini berkembang di beberapa daerah yang kemudian menimbulkan keresahan masyarakat, sehingga sebagian organisasi, lembaga termasuk Kejaksaan Agung RI mengajukan permintaan fatwa tentang masalah tersebut.
MUI kemudian menetapkan fatwa tentang aliran Gafatar guna dijadikan pedoman: Aliran Gafatar adalah sesat dan menyesatkan, karena merupakan metamorfosis dari aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang sudah difatwakan sesat melalui Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2007.
Setiap muslim pengikut aliran Gafatar dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, yang meyakini faham dan ajaran keagamaan Gafatar adalah murtad (keluar dari Islam), wajib bertaubat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila al-haq).
Kedua, yang mengikuti kegiatan sosial tetapi tidak meyakini ajaran keagamaannya tidak murtad, tetapi wajib keluar dari komunitas Gafatar untuk mencegah tertular ajaran yang menyimpang.
Pemerintah wajib melarang penyebaran aliran Gafatar serta setiap paham dan keyakinan yang serupa, dan melakukan penindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pimpinan Gafatar yang terus menyebarkan keyakinan dan ajaran keagamaannya.
Pemerintah wajib melakukan rehabilitasi dan pembinaan secara terus menerus terhadap pengikut, anggota dan pengurus eks Gafatar. (desastian)