JAKARTA (Panjimas.com) – Saat pilkada putaran pertama, seorang ibu beragama Islam di Pasar Karbela, Setia Budi, Jakarta Selatan, mengaku mendukung paslon nomor dua, Ahoh-Djarot. Ketika ditanya, kenapa ibu membela dan mendukung penista agama? Ibu tidak takut dengan azab Allah karena mengingkari Al Qur’an?
Ibu itu menjawab, “Iya, saya lawan Allah.”
Lalu ditanya lagi, ibu sadar bicara seperti itu? “Iya saya sadaar”
Astaghrifirullah. Ucapan fasik itulah yang mendorong pengurus Masjid Al Jihad dan beberapa pengurus masjid lainnya membentangkan spanduk bertuliskan ““Masjid Ini Tidak Mensholatkan Jenazah Pendukung dan Pembela Penista Agama.”
Dengan spanduk ini, para pendukung Ahok sang penista agama jangan berharap akan dimandikan, dikafani, dishalatkan, dikubur dengan cara muslim. Saat menghadapi maut nanti, carilah Teman Ahok yang mengurus kematian umat Islam yang
terang-terangan mendukung penista agama.
“Spanduk ini sebagai bentuk keprihatinan kami terhadap umat Islam yang keimanannya semakin terkikis. Spanduk ini ingin menyadarkan umat Islam yang telah memberikan loyalitas dan dukungannya kepada Ahok yang telah menista Al Qur’an,” kata Abu Hamzah, salah seorang pengurus Masjid Al Jihad yang ditemui Panjimas, Ahad (26/2) lalu.
Menurut Abu Hamzah, spanduk ini sesuai dengan firman Allah di QS. At- Taubah ayat 84. “Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati diantara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri(mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”
“Spanduk ini adalah spanduk kasih sayang, himbauan, agar umat yang telah memberi loyalitas kepada orang kafir berpikir ulang, bahwa yang mereka lakukan itu menentang ayat Allah, melawan Allah. Karena itu kembalilah kepada Allah,” ujar Abu Hamzah mengingatkan.
Ini bukan persoalan paslon pilkada DKI, tapi seorang yang telah menista al Qur’an. “Jika ada warga kita yang muslim, secara massif dan terang-terangan membela penista agama, memamerkan baju kotak-kotaknya dan mengkampanyekan Ahok, maka kami Wallahi, akan berkomitmen untuk tidak menshalatkan jenazahnya. Meski pendukung penista agama itu kerabat dan keluarga kami,” ungkap Abu Hamzah.
“Silahkan cari masjid lain yang mau menshalatkan. Atau cari Teman Ahok dan komunitas mereka untuk mengurus jenazah muslim yang menjadi Ahokers. Yang pasti, masjid Al Jihad dan beberapa masjid di wilayah Setia Budi akan menolaknya.
Foto spanduk ini menjadi viral dalam sepekan. Kini, sudah ada 10 spanduk serupa yang dibentangkan di beberapa masjid di sekitar Setia Budi. Sebut saja di masjis di Kelurahan Karet, Karet kuninga, Setia budi, dan Pasar Manggis.
“Pihak kelurahan, kepolisian, dan KUA kementerian Agama Setia Budi sempat mendatangi kami agar mencopot spanduk ini. Tapi kami menolak. Mereka menuduh spanduk ini sebagai upaya memecah belah umat. Padahal, justru kita mencintai umat agar kembali kepada al Qur’an dan selalu mengingatkan akan kematian,” kata Abu Hamzah.
Abu Hamzah juga mengatakan, buat apa Lurah dan aparat mengurusi spanduk, kenapa tidak urus kristenisasi yang dilakukan orang asing dengan menyebar pamflet di wilayah ini.
Ketika ditanya, apakah sudah ada warga yang meninggal dunia dan ditolak dishalatkan di masjid ini? “Di masjid ini belum ada, pendukung penista agama yang meninggal disini. Tapi sudah ada di tempat lain. Jenazah Ahokers ditolak untuk dishalatkan di masjid tersebut.”
Abu Hamzah berpesan kepada umat Islam agar selalu ingat kematian. “Jangan dulu semasa hidup menghina ulama. Tapi ketika mati malah mencari ulama untuk diurus jenazahnya dan minta dishalatkan.” (desastian)