JAKARTA (Panjimas.com) – Walaupun Indonesia-Arab Saudi secara historis memiliki hubungan khusus karena kesamaan agama, tetapi hubungan bilateral kedua negera ini tidaklah sekuat sebagaimana sering diasumsikan banyak kalangan.
“Indonesia tidak menjadi mitra strategis bagi Arab Saudi, sementara strategi politik luar negeri (polurgi) Indonesia cenderung berkiblat ke Barat. Isu-isu yang dominan justru berkaitan dengan masalah-masalah tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Saudi,” demikian dikatakan Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi, Ph.D dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Dosen Prodi Arab Universitas Indonesia ini, ada mispersepsi di antara kedua negara ini sehingga berpengaruh terhadap tidak optimalnya hubungan bilateral keduanya. Saudi yang sering menggunakan strategi bantuan (politics of assistance) lebih banyak memfokuskan kerjasama di bidang keagamaan dengan membangun fasilitas-fasilitas keagamaan (rumah ibadah) maupun sekolah-sekolah agama.
“Uniknya, peran diplomasi Kerajaan Arab Saudi di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh atase Agama karena tidak adanya atase perdagangan maupun pendidikan,” ungkap Yon yang juga Direktur Indonesia-Middle East Institute (IMEINS).
Bantuan keagamaan Saudi bukan berarti tanpa masalah. Besarnya bantuan kepada yayasan-yayasan keagamaan yang berbeda aliran dengan mayoritas umat Islam di Indonesia telah menimbulkan potensi konflik keagamaan.
“Sejak Orde Baru sikap pemerintah Indonesia terhadap negara-negara di Timur Tengah kurang positif karena isu-isu radikalisme. Timur Tengah, termasuk Saudi Arabia dicurigai sebagai pusat penyebaran gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia,” kata Yon.
Tidak disadari penekanan kerjasama keagamaan ternyata menjadikan hubungan kedua negara itu tidak optimal. Saudi menganggap Indonesia defisit dalam hal keagamaan, sementara pihak Indonesia mengkhawatirkan potensi masuknya aliran-aliran radikal ke Indonesia. “Akibatnya, kerjasama di bidang ekonomi dan pendidikan non agama tidak maksimal, padahal potensi kedua negara ini sangat besar.”
Kemarahan Saudi ditumpahkan kepada AS ketika negara ini berusaha mengesahkan Undang-Undang tentang terorisme yang memberikan kesempatan kepada keluarga korban September 11 menuntut Saudi bertanggung jawab terhadap peristiwa itu.
Pihak kerajaan pun mengancam akan menarik dananya dari AS. Pada tahun lalu dikabarkan sebanyak USD 200-300 miliar ditarik oleh investor Saudi dari AS (South Front, 17/12/16) dan sisanya sedang menunggu perkembangan. Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia di mana pada 2050 akan masuk empat besar raksasa ekonomi dunia sangat berpotensi menjadi alternatif bagi para investor Saudi.
Dikatakan Yon, Saudi harus memperlakukan Indonesia sebagaimana mereka menempatkan mitra strategisnya di kawasan Asia seperti China, India, Korea, dan Jepang. Wacana untuk belajar dari Saudi dalam menangani terorisme misalnya, bukanlah suatu kebijakan yang tepat. Fakta membuktikan bahwa negara-negara Timur Tengah terbukti gagal dalam mengendalikan potensi terorisme.
“Sangatlah naif kalau Indonesia justru belajar kepada negara-negara Timur Tengah dalam memerangi terorisme tetapi tidak optimal memanfaatkan potensi ekonomi yang luar biasa ini. Kepentingan ekonomi menjadi sangat penting dibanding masalah keagamaan dan keamanan,” kata Yon.
Prospek Ekonomi
Dari sisi investasi, Yon kini menjadi kontributor buku Saudi Arabian Foreign Policy, menjelaskan, Arab Saudi memiliki potensi yang sangat besar. Para investor Saudi sangat identik dengan keluarga istana. Artinya, kebijakan politik istana dan ekonomi selalu saling berkaitan. Sebagian besar orang-orang kaya Saudi adalah keluarga istana. Sebut saja Pangeran Walid bin Talal bin Abdul Aziz adalah termasuk orang terkaya di dunia dengan kekayaan mencapai USD 20 miliar.
Pada 2005, dia menyumbang Universitas Harvard dan Georgetown sebesar USD 40 juta dolar untuk pengembangan studi Islam. Pada sisi lain kerjasama pendidikan di Indonesia lebih banyak diperankan oleh Lembaga Pendidikan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta yang rencananya akan dikembangkan di tiga wilayah di Indonesia.
Kerjasama dan bantuan pendidikan tidak banyak dilakukan dengan universitas-universitas umum ternama di Indonesia. Akibatnya, peran Saudi di Indonesia cenderung periperal karena hanya nampak di ranah keagamaan. Berbeda dengan Iran dan Turki misalnya, mulai fokus menggarap kerjasama di bidang ekonomi dan pendidikan umum.
Presiden Ahmadinejad (2006) dan Abdullah Gul (2011) misalnya, menyempatkan berkunjung ke Univeristas Indonesia guna menyampaikan pesan perdamaian yang dihadiri oleh ribuan mahasiswa. Resonansinya pun membahana di kalangan anak-anak muda Indonesia.
Investasi Saudi di AS juga tergolong besar yaitu mencapai USD 600 miliar. Baru-baru ini, Departemen Keuangan AS membuka informasi tentang nilai hutang AS kepada Saudi yang mencapai USD 116,8 miliar atau sekitar Rp1.551 triliun (CNN, 17/5/16). Perubahan politik di AS, terutama sejak Trump berkuasa, menyebabkan kerajaan Saudi dan para investornya merasa tidak nyaman dan mulai memindahkan dana mereka.
Besarnya rombongan Raja dan lamanya kunjungan telah mengukuhkan karakteristik politik luar negeri Saudi yang dibangun atas dasar kekeluargaan, persahabatan dan kepercayaan. Dengan demikian kedua negara ini akan duduk sebagai dua negara yang sejajar dan berpengaruh di dunia Islam dan Timur Tengah.
“Tergantung bagaimana kedua negara ini menyikapi rencana kunjungan yang sangat bersejarah ini. Jika kedua negara menginginkan hubungan yang kuat dan saling menguntungkan, maka, mereka perlu mengubah persepsi yang berkembang saat ini,” kata Yon. (desastian)