JAKARTA (Panjimas.com) – Dua hari lagi, Insyaallah, Rabu tanggal 1 – 9 Maret 2017, Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz, berkunjung ke Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, kabarnya Raja Salman akan membawa 1500 delegasi, termasuk 10 menteri dan 25 pangeran. Tentu, kedatangan Raja Saudi Arabia ini, memiliki arti penting dan strategis bagi kedua negara.
Mengapa kunjungan ini sangat penting? Menurut Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, Ph.D, setidaknya, ada dua hal. Pertama, kunjungan ini adalah yang pertama bagi raja Saudi setelah hampir 47 tahun ini tidak pernah kunjungan ke Indonesia.
“Padahal selama reformasi, beberapa presiden Indonesia telah melakukan kunjungan ke sana. Dimulai dari Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono maupun Jokowi. Tetapi, seperti kita ketahui, sejak tahun 1970, tidak ada kunjungan Raja Saudi ke Indonesia. Ini sesuatu yang janggal,” ungkap Yon.
Kedua, perubahan politik dunia, terutama di Amerika Serikat (AS) yang sedang kurang bersabahat dengan Islam dan Timur Tengah, ini juga menjadikan kunjungan Raja Salman itu sangat penting maknanya. Kebijakan Presiden Trump yang diskriminatif terhadap Islam dan Timur Tengah, membuat ketidaknyamanan bagi para investor Timur Tengah. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia mulai dilirik oleh negara-negara di kawasan Timur Tengah.
Pergeseran Polurgi Saudi
Yon Machmudi memaparkan, sejak kepemimpinan Raja Abdullah (2005-2015) telah terjadi pergeseran arah politik luar negeri (polurgi) Saudi dengan menjadikan Asia sebagai mitra alternatif menggantikan hegemoni Barat (Amerika). Strategi yang digunakan adalah strategi yang dikenal dengan “managed multy dependence“ (MMD).
MMD merupakan strategi mencari beragam hubungan luar negeri dengan negara-negara utama, guna mengurangi ketergantungan dan hegemoni pada satu negara besar (Amerika Serikat). Perubahan Polurgi Saudi ini dapat dilihat dari dipilihnya China dan India sebagai prioritas kunjungan pertama Raja Abdullah di luar kawasan Timur Tengah pada awal 2006.
Pada Februari dan Maret 2014, Salman bin Abdul Aziz, semasa menjadi Putra Mahkota, mendapat tugas untuk berkunjung ke Jepang, India dan China. Posisi ketiga negara ini dinilai sangat strategis, karena penggabungan kekayaan ketiga negara ini, ternyata sudah menyamai jumlah kekayaan negara AS yang selama ini menjadi sekutu setia Saudi.
Demikian juga ketiga negara Asia ini secara bersama-sama mampu menyerap lebih dari 39% minyak Saudi. Suatu jumlah yang sangat besar dibanding AS sendiri yang hanya menyerap 19% saja.
Kebijakan Raja Abdullah mereduksi hegemoni Amerika dan melirik Asia ini, kemudian diikuti oleh penerusnya, Raja Salman. Pada bulan Juni 2015, Kerajan Saudi mengutus Wakil Putra Mahkota sekaligus Menteri Pertahanan, Muhammad bin Salman, mengunjungi Moskow guna menandatangai perjanjian kerjasama bilateral di sektor minyak, militer, nuklir dan ekspolarasi ruang angkasa.
Setelah itu kunjungan-kunjungan kerajaan dilakukan di negara-negara Asia seperti Jepang, China, Korsel dan India. Walaupun AS saat ini masih mendominasi pembelian minyak Saudi (19%) tetapi empat negara Asia (Jepang, China, Korsel dan India) berpotensi menggantikan kedudukan Amerika. Keempat negara ini masing-masing membeli minyak ke Saudi sebesar 1,2 juta bpd (barrel per day) untuk Jepang, 1,1 juta bpd (Cina), 0,9 juta bpd (Korea Selatan) dan 0,8 juta bpd (India).
Total impor negara-negara Asia dari Saudi mencapai 4 juta bpd (51%). Bahkan hingga 2040 nanti, kebutuhan mereka akan terus meningkat sementara AS saat ini mulai membatasi impor minyaknya karena fokus untuk memenuhi sendiri (Yamada, 2015).
Impor minyak Indonesia saat ini mencapai 0,55 juta bpd dan akan terus menanjak hingga 0,88 juta bpd. Sekitar 29% kebutuhan minyak Indonesia disuplai dari Saudi. Karenanya, seiring dengan strategi MMD Saudi yang cukup efektif ini dalam menggeser hegemoni AS di Saudi, posisi Indonesia menjadi sangat penting karena kebutuhan impor minyak Indonesia yang cukup besar di bawah India. Dan ini akan menjadi prospek pasar penting bagi Saudi. (desastian)