JAKARTA, (Panjimas.com) – Pengacara Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Ustadz Bachtiar Nasir, Kapitra Ampera membenarkan adanya aliran uang ke Suriah yang dikirimkan oleh pegawai BNI Syariah, Islahudin Akbar.
Namun, uang tersebut tak ada kaitannya dengan kliennya.
“Dikirim oleh Ishaluddin Akbar melalui rekening pribadi yang uangnya berasal dari Abu Harits, Pengurus Solidaritas Untuk Syam,” ujar Kapitra, Kamis (23/02).
Menurut Kapitra, Abu Harits merupakan kawan dekat Islahudin. Saat itu, Abu meminta Islahudin mengirimkan uang sebesar 4.600 dollar AS ke NGO di Turki bernama IHH.
Uang itu berasal dari hasil bedah buku bertemakan Suriah yang dilakukan di sejumlah masjid.
“Itu orang menyumbang untuk pengungsi Suriah ke NGO terbuka. Ada bukti slipnya,” kata Kapitra.
Dana tersebut dikirim pada Juni 2016. Sementara itu, Yayasan Keadilan Untuk Semua menyerahkan rekeningnya ke GNPF-MUI untuk menampung donasi aksi bela Islam dilakukan pada Oktober 2016.
Dengan demikian, kata dia, uang ke Suriah itu dikirimkan sebelum adanya peminjaman rekening yayasan ke GNPF-MUI.
“Sehingga tidak ada urusan dengan Bachtiar Nasir karena GNPF baru muncul,” kata Kapitra.
Kapitra menganggap kemungkinan bukti transfer ke Suriah itu ditemukan penyidik bersama dokumen-dokumen lainnya saat menggeledah kantor Islahudin di BNI Syariah.
Hal tersebut, kata dia, juga sudah dijelaskan dan tertuang dalam berita acara pemeriksaan.
“Jadi tidak pernah ada Bachtiar Nasir mengirim uang sebesar 4.600 dollar AS ke Turki,” kata Kapitra.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sebelumnya mengungkapkan adanya indikasi pengiriman dana dari GNPF-MUI ke Turki.
Polisi kini masih mendalami tujuan transfer dana tersebut. Diduga, transfer uang itu berkaitan dengan kasus dugaan penyalahgunaan dana Yayasan Keadilan untuk Semua.
Tito menyebutkan, Ketua Yayasan Adnin Armas memberikan kuasanya pada Ketua GNPF-MUI, Ustadz Bachtiar Nasir.
Bachtiar kemudian menguasakannya lagi kepada pegawai Bank BNI Syariah, Islahudin Akbar untuk menarik uang.
Menurut Undang-Undang Perbankan, kata Tito, pemberian kuasa tak boleh diberikan hingga dua kali. [TM/]