JAKARTA (Panjimas.com) – Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Rapat Pleno ke-15 di Gedung MUI, Jalan Proklamasi 51, Menteng, Jakarta Pusat untuk mencermati persoalan keumatan dan kebangsaan belakangan ini, Rabu (22/2) siang.
Rapat Pleno yang diikuti 50 orang itu dipimpin oleh Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin MA. Hadir diantaranya, Prof. Dr KH Didin Hafiduddin (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI), Khairul Salam (PUI), Prof Dr. Nasaruddin Umar (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI). Sejatinya, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (Panglima TNI) akan hadir, namun tidak jadi datang.
Dalam rapat tersebut dibahas sejumlah persoalan keumatan, seperti problematika dakwah dan ukhuwah umat Islam, independensi fatwa MUI, hingga ancaman terhadap NKRI.
Pada kesempatan itu, Prof Dr KH Didin Hafidhuddin (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI) melihat adanya gejala kesenjangan ukhuwah di tengah umat. Di antaranya, kecenderungan sebagian umat Islam yang bergerak sendiri-sendiri. Ini bertentangan dengan konsep ta’awun dalam Islam. Seharusnya, apapun jabatannya, membangun ukhuwah itu penting.
Lebih jauh, KH. Didin menjelaskan perlunya Kode Etik Ukhuwah Islamiyah agar terjadi sinergi dan harmonisasi. Kode etik yang harus diperhatikan, meliputi:
Pertama, setiap Muslim memandang sesama Muslim sebagai saudara seiman. Karena itu perlu ada perlakuan khusus terhadap saudara seiman, dengan kejujuran dan solidaritas.
“Bukan membunuh, mencaci maki, atau tindakan merugikan lainnya. Cara pandang kita, walaupun beda organisasi harus dipandang dengan kasih sayang dan menjauhkan hal-hal yang menyebabkan perpecahan.”
Kedua, sesama Muslim harus saling melindungi dan berkoordinasi. Rasa persaudaraan akan terjalin jika ada upaya untuk saling menolong, bukan sekedar berkumpul dalam organisasi tapi juga ada langkah kongkrit di tengah umat. Sebab tidak mungkin amar ma’ruf bisa dilakukan sendiri karena banyaknya problematika umat.
“Dengan ukhuwah ini kita dihadapkan pada realitas bahwa kalau tidak ada koordinasi, umat terpecah belah dan saudara kita menjadi murtad. Karena itu utamakan kehidupan berjamaah dan menjadikan organisasi sebagai alat untuk mencapai tujuan,” ujarnya.
Menurut Prof Didin, menjadikan organisasi sebagai alat bisa menimbulkan sikap tasamuh (toleransi), bukan fanatik buta. Jadi, organisasi adalah alat, bukan tujuan. Ini perlu ada perubahan paradigma berpikir.
“Setiap ormas harus menjadikan ormas lain sebagai mitra dan sahabat perjuangan untuk kepentingan umat. Misalnya dalam menghadapi kristenisasi dan gerakan madharat lainnya, antarumat Islam harus saling menguatkan dari berbagai sisi, sesuai bidang dan keunggulan yang dimiliki. Kita harus mewariskan persatuan jangan mewariskan perpecahan.”
Dalam kehidupan politik, kata Didin, setiap Muslim mengedepankan kepentingan bersama dan meletakkan kepentingan kelompok atau ormas. Sebagai contoh dalam Pilkada DKI yang menjadi barometer Indonesia. Bisa dibayangkan jika pemimpinnya tidak dari mayoritas.
“Harusnya kita saling mendukung dan mendorong karena di situ ukhuwah kita diuji. Membangun ukhuwah Islamiyah dilakukan dengan cara bersilaturahim dengan orang yang akan terputus.”
Tak kalah penting, dikatakan Didin, setiap pemimpin dan ormas perlu menahan diri dalam perbedaan khilafiyah, terutama di mimbar umat seperti khutbah Jumat. Hubungan antar ormas harus dilandasi dengan sikap khusnudzan dan pandangan positif untuk pembangunan umat.
“Setiap amal harus dipandang sebagai upaya keseluruhan umat. Misalnya Muhamadiyah miliki rumah sakit standar internasional, atau NU mampu membangun perekonomian dengan konsep Baitul Mal wa Tamwil berbasis pesantren, semua itu adalah wujud kemenangan bersama.”
Secara umum, ormas dan kelompok Islam harus dimulai dari ta’awun (menolong) dan takaful (melindungi). Islam dan iman adalah perilaku sehingga ukhuwah Islamiyah ini terlihat pada perilaku, berpikir dan muamalah. Jangankan kepada manusia, dengan binatang saja kita diminta menyayangi.
“Tugas kita membangun ukhuwah dan tasamuh (tolerasi) terhadap yang berbeda agama. Perkembangan situasi saat ini banyak para ulama kita yang telah dibenturkan dengan para aparatur negara, ini adalah salah satu bentuk dari munculnya PKI yang bangkit kembali.” (desastian)