JAKARTA (Panjimas.com) – Siapa yang tak kenal Adian Husaini, Ph.D. Ia adalah seorang cendekiawan dan aktivis pemikiran Islam terkemuka yang ada di Indonesia. Pasca Aksi Bela Islam 212, tiba-tiba namanya disangkutpautkan dengan delik pencucian uang dari “Yayasan Keadilan Untuk Semua” (YKUS). Yayasan ini digunakan GNPF MUI untuk menampung donasi kaum Muslimin. Dalam YKUS Adian menjabat sebagai pembinanya.
Henri Shalahudin yang mengaku dekat Adian, menilai fitnah yang dialamatkan kepadanya, sungguh teramat keji dan tidak beradab. “Tuduhan tersebut adalah fitnah terhadap kaum muslimin yang menjadi donatur untuk kegiatan Aksi Bela Islam.”
Seperti diketahui, para pengurus YKUS dan pembinanya rata-rata adalah cendekiawan muslim, aktivis peradaban dan orang baik-baik. Mereka adalah Adian Husaini, Adnin Armas, Abdul Hakim, Subhi, dan Nuim Hidayat.
Adian Husaini adalah sarjana dari tiga disiplin ilmu yang berbeda. Ia merupakan sarjana Kedokteran Hewan IPB, 1989. Kemudian Magisternya dalam Hubungan Internasional dengan konsentrasi studi Politik Timur Tengah diperoleh di Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya.
Sedangkan doktornya dalam bidang Pemikiran dan Peradaban Islam diraihnya di International Institute of Islamic Thought and Civilization – Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM). Disertasinya berjudul “Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican Council: A Critical Reading of The Second Vatican Council’s Documents in The Light of the Ad Gentes and the Nostra Aetate”.
Henri mengenalnya pertama kali pada tahun 2003 di Kuala Lumpur. Tepatnya saat beliau memutuskan untuk melanjutkan S3-nya di ISTAC dan membatalkan tawaran untuk studi S3-nya di Amerika. “Sejak itulah saya mengenalnya sebagai teman, dan sekaligus guru yang sangat sederhana, cerdas, humoris, kaya ide, serta anteng.”
Selama 14 tahun mengenalnya secara dekat, Henri hampir tidak pernah mendengar, Adian bicara soal kemewahan, berangan-angan ingin punya barang-barang ini dan itu. Perhatiannya kepada ‘ulumuddin (ilmu-ilmu keislaman) dan pelajar sangat tinggi.
“Hampir tidak terhitung berapa pelajar yang ia bina dan diberi motivasi untuk menulis serta mengamalkan ilmu yg didapat. Adian tidak henti-hentinya mengingatkan bahwa tradisi ulama itu menulis bukan ceramah. Peradaban Islam tidak akan bertahan hingga kini jika ulama-ulama terdahulu tidak menulis.”
Sebagai mantan wartawan, Adian tidak pernah pelit untuk memberikan pelatihan menulis untuk para pelajar hingga tuntas. Singkatnya, mahasiswa yang lebih junior benar-benar mendapatkan “berkah” dengan kedatangannya di Kuala Lumpur.
Pernah suatu ketika saya iseng bertanya, “Mas.. kalau ada orang yg mempertanyakan kredibilitas sampean yg berlatar belakang sarjana kedokteran hewan yang terjun ke studi pemikiran Islam, bagaimana jawaban sampean? Wong sarjana hewan kok ngurusi studi Islam yang langsung bersentuhan dengan manusia?!”
Dengan antengnya dia menjawab kurang lebih begini: “Manusia yang tidak mengoptimalkan potensi akalnya untuk memahami wahyu, mereka itu spt hewan, bahkan lebih sesat dari hewan sebagaimana yang termaktub dalam al-Quran. Maka sebagai sarjana kedokteran hewan ilmu, saya masih nyambung untuk hal ini”.
Henri terkekeh-kekeh mendengar jawabannya. Lalu ia bertanya lagi, “Mana yang lebih rumit mengkaji studi Islam yang berkaitan dengan ide-ide orang liberal atau kedokteran hewan?
Dengan posisi yang tetap anteng, Adian berkata: “Hewan itu jujur. Meskipun tidak bisa ngomong, kita tahu apa maunya hewan dengan melihat gejala yang ditampakkannya. Mudah kok diketahui hewan itu lagi sakit atau mau kawin. Inilah bedanya dengan kajian tentang ideologi sekularisme, pluralisme agama dan liberalisme (sepilis) yang disusupkan ke ranah studi Islam”.
Sebagai seorang cendekiawan dan aktivis yg produktif, Adian telah menghasilkan karya puluhan buku. Seringkali ketika Henri silaturahim ke rumahnya, ia tengah menyelesaikan artikel tentang isu-isu pemikiran kontemporer.
Di antara puluhan karyanya itu, salah satunya adalah “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi” yang terpilih menjadi buku terbaik ke-2 dalam Islamic Book Fair tahun 2007. Setahun sebelumnya, bukunya yang berjudul “Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal” menjadi buku non-fiksi terbaik.
Kiprahnya dalam dunia pemikiran Islam telah menarik para akademisi untuk meneliti ide dan gagasannya, baik yang bernada pro maupun kontra.
“Semoga Allah melindungi Dr. Adian yang sedang menghadapi segala fitnah dan makar jahat. Semoga Allah memberikan balasan yang setimpal kepada setiap orang yang berkonstribusi melakukan kejahatan ini atau membuka hatinya untuk bertaubat,” harap Henri. (desastian)