JAKARTA, (Panjimas.com) – RUANG seluas 3×3 meter persegi di sebuah perkantoran di bilangan Jakarta Selatan itu sudah dipenuhi juru warta. Di pojok ruangan, di atas karpet hijau, duduk ulama muda, Adnin Armas. Ia adalah Ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua, yayasan yang sekarang tengah menjadi sorotaan media massa karena dituding sebagai wadah praktik pencucian uang.
Waktu ketika itu (Senin, 20/02) sudah menunjukkan hampir pukul 23.00. Para juru warta masih serius mendengarkan penuturan sang peneliti muda pada Institute for Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini. Sebagian ada yang mencatat di buku sakunya, sebagian lagi mengetik di laptopnya.
“Saya tak akan diam,” kata Adnin. Suaranya keras. Tatapan matanya tajam. “Mana mungkin saya diam ketika saya dan para ulama difitnah seperti ini,” jelas Adnin lagi.
Sebagai mana diberitakan sebelumnya, pihak kepolisian telah memanggil Adnin Armas sebagai saksi atas dugaan pelanggaran UU tentang pencucian uang dan UU tentang yayasan. Dalam kasus ini pihak kepolisian telah menetapkan Islahuddin Akbar, salah seorang pegawai bank swasta, sebagai tersangka.
Islahuddin, selaku orang yang dipercaya oleh Bachtiar Nasir (Ketua GNPF), dianggaap bersalah karena telah mencairkan dana yayasan yang dipimpin Adnin. Pencairan ini dimungkinkan setelah ia mendapat kuasa dari Adnin selaku ketua yayasan.
Pihak GNPF sendiri, kata Adnin, telah meminjam rekening yayasannya guna menampung dana dari masyarakat yang akan membantu pelaksanaan aksi bela Islam tersebut. Saat pencairan dana inilah, Adnin ikut dipersalahkan. Tindakannya memberikan kuasa kepada Islahudin dianggap bersalah oleh pihak Kepolisian. Padahal, kata Adnin, justru ia tak mungkin menahan-nahan uang umat di dalam rekening yayasannya.
Setelah usai menjalani pemeriksaan ketiga pada Rabu (15/02/2017), Adnin rajin bersilaturahim kepada para tokoh. “Masyarakat harus tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya,” kata Adnin lagi.
Ia mengaku tak mendapatkan keuntungan serupiah pun dari niat baiknya meminjamkan rekening kepada GNPF untuk penggalangan dana Aksi Bela Islam. Lalu mengapa rekening gendut kepolisian yang jelas-jelas memperkaya pribadi tak pernah tuntas diusut?
Andai ada persoalan administrasi pengelolaan yayasan yang dianggap salah, kata Adnin lagi, mengapa pihak kepolisian merasa itu persoalan penting sehingga harus mengerahkan daya upaya untuk mengkriminalisasi dirinya? Bukankah tidak ada pihak yang dirugikan secara finansial?
Lantas, cerita Adnin lagi, bagaimana dengan kesalahan prosedur yang dilakukan pihak kepolisian saat memeriksa dirinya selaku saksi? Adnin menceritakan bagaimana pemanggilan kedua dan ketiga dilakukan dalam jeda amat singkat, penyerahan surat pemanggilan pada tengah malam, hingga penggeledahan rumah selama 5 jam dalam posisi ia masih berada di kantor Bareskrim Polri dan statusnya masih saksi.
“Masyarakat harus tahu semua itu,” kata Adnin. Malam pun semakin gelap dan sepi.
Hari ini (Rabu 22/2), Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menyebut Adnin Armas sebagai tersangka atas kasus pelanggaran UU Yayasan. Pernyataan ini disampaikan Kapolri saat rapat kerja bersama Komisi II DPR di kompleks Gedung DPR Senayan Jakarta.
Terhadap berita ini, Adnin mengaku belum tahu. Namun, apapun yang akan menimpa dirinya, kata Adnin, masyarakat tetap harus tahu yang sebenarnya. [Mahladi/Hidayatullah]