JAKARTA (Panjimas.com) – Memilih pemimpin berdasarkan agama tidak bertentangan dengan konstitusi. “Sama sekali tidak memecah belah, bahkan justru memperkuat NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia.”
Demikian dikatakan Saksi ahli agama Islam dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yunahar Ilyas,dalam persidangan ke-11 kasus penodaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (21/2).
Yunahar menjelaskan, kata auliya dalam Surat Al-Maidah ayat 51 lebih tepat dimaknai sebagai seorang pemimpin. “Paling tepat pemimpin,” kata Yunahar saat bersaksi.
Kata auliya dalam ayat tersebut beberapa kali dipertanyakan dalam persidangan. Sebab, dalam Al-Quran dan terjemahan yang beredar di Indonesia, ada dua versi makna kata auliya, yaitu teman setia dan pemimpin. Dalam bahasa arab sendiri, kata auliya memiliki sekitar 10 makna.
Menurut Yuniar, terjemahan Surat Al Maidah ayat 51 adalah ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim’.
Yunahar menuturkan, jika ‘auliya’ dalam Surat Al-Maidah ayat 51 diterjemahkan sebagai teman setia, maka maknanya akan lebih berat. Sebab, jika diartikan teman setia, maka umat muslim dalam berteman pun tidak dibolehkan dengan Yahudi dan Nasrani. “Itu lebih berat. Padahal dalam ayat lain dinyatakan tidak masalah,” kata dia.
Menurut Yunahar, Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang non-muslim yang tidak mengusir dan memerangi kaum muslim.
Larangan Pemimpin Non-Muslim
Selanjutnya Yunahar mengatakan, larangan memilih pemimpin nonmuslim dalam hukum agama Islam adalah haram. Larangan ini disebut haram karena diikuti ancaman. Sebaliknya, jika tidak diikuti ancaman maka termasuk makruh.
Dalam Surat Al-Maidah ayat 51 dan Surat An-Nisa ayat 144, menurut Yunahar, ada ancamannya. “Barang siapa di antara kalian yang loyal pada Yahudi dan Nashara (Nasrani) berarti dia termasuk Yahudi dan Nashara,” ujarnya.
Yunahar mengatakan, ancaman dalam Surat An-Nisa lebih keras lagi. Bunyi ayat itu ‘Hai orang-orang beriman, jangan kamu mengambil orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang beriman. Apakah kalian ingin memberikan kepada Allah alasan yang nyata untuk mengadzabkannya’.
Menurut dia, hal tersebut bermakna ada pilihan untuk memilih atau tidak memilih pemimpin kafir. “Berarti ada pilihan. Lalu dia pilih yang kafir dan mukmin ditinggalkan. Ancamannya, ‘apakah kalian ingin memberikan kepada Allah alasan yang nyata untuk mengadzabkannya’. Karena diikuti ancaman keras maka larangan haram,” kata Yunahar.
Yunahar menjelaskan, dalam pemahaman Muhammadiyah, memilih adalah hak dan kewajiban. Kewajiban rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin, menurutnya, yang dipilih adalah yang terbaik. Sedangkan yang menjadi haknya, bila menentukan pemimpin berdasarkan kriteria tertentu. “Apakah yang terbaik satu kampung, satu etnis, agama itu urusan dia,” ujar Yunahar.
Kata Yunahar, Indonesia memang bukan negara yang secara langsung berdasarkan hukum Al-Quran dan sunnah. Tapi, bukan berarti Indonesia adalah negara yang meninggalkan Al-Quran dan sunnah. Keduanya bisa diambil untuk membuat konstitusi menjadi undang-undang.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu menuturkan, yang tidak dibolehkan apabila umat Islam menuntut dibuatkan undang-undang tidak boleh nonmuslim menjadi pemimpin. Sebab, kata Yunahar, itu melanggar ketentuan. “Tapi dia tidak menuntut itu. Dia hanya akan menggunakan haknya sesuai kriteria,” ucap Yunahar.
Yunahar mengatakan, selain satu agama, memilih pemimpin dari satu partai saja dibolehkan. Sebab, sistem demokrasi membolehkan primordialisme. “Apakah itu agama, etnis, partai atau alasan-alasan, banyak juga yang anjurkan alumni satu kampus,” kata Yunahar.
Yunahar Ilyas mengaku telah menonton video pidato Ahok saat di Kepulauan Seribu yang berdurasi sekitar 30 menit. (desastian)