JAKARTA (Panjimas.com) – Pasca Aksi Bela Islam 411, 212 dan 112, polisi mulai mencari-cari kesalahan ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF-MUI). Ujung-ujungnya adalah mengkriminalisasi ulama dan aktivis Islam melalui Yayasan Keadilan untuk Semua (YKUS) dengan tuduhan pencucian uang.
Saat ini Direktorat II Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri terus melakukan penyidikan terhadap Yayasan Keadilan untuk Semua yang didalamnya terdapat nama-nama ustadz yang selama ini mendukung Aksi Bela Islam.
Sebut saja Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Adnin Armas (Ketua Yayasan KUS), Ustadz Adian Husaini (Pembina Yayasan KUS), Nuim Hidayat (Pengawas Yayasan KUS), Tri Subhi Abdillah (Sekretaris Yayasan KUS), Suwono (Bendahara Yayasan KUS), Bachtiar Nasir (Ketua GNPF-MUI), Dadang, Linda dan M Lutfie Hakim. Termasuk pegawai Bank BNI Syariah, Islahudin Akbar.
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rikwanto kepada pers mengatakan, kasus pencucian uang yang disidik Bareskrim Polri merupakan dana di rekening Yayasan Keadilan untuk Semua sekitar Rp 3,8 miliar yang digalang GNPF-MUI untuk Aksi pada 4 November (411) dan 2 Desember 2016 (212).
Dugaan pencucian uang itu terkait dana sumbangan-sumbangan masyarakat untuk Aksi Bela Islam yang ditampung di yayasan tersebut. Polisi menduga ada pengalihan kekayaan atau aset yayasan tersebut yang menjadi tindak pidana pencucian uang.
Orang yang pertama kali dipanggil terkait kasus tersebut adalah Ustadz Bachtiar Nasir. Pemanggilan pertama, Rabu (8 Februari 2017), Ketua GNPF-MUI ini tidak memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik Subdit TPPU/money laundering Dittipideksus Bareskrim Mabes Polri.
Bachtiar Nasir hendak diperiksa sebagai saksi kasus pengalihan kekayaan yayasan kepada pembina, pengurus dan pengawas baik dalam bentuk gaji, baik upah maupun honorarium atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang.
Bachtiar Nasir dipanggil sebagai saksi karena keterangannya diperlukan untuk penyidikan kasus tersebut. Diawal penyelidikan kasus ini bukan dari pelaporan masyarakat, melainkan dari temuan adanya bukti penyimpangan dugaan TPPU.
“Banyak data dari macam-macam. Dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) juga ada,” kata Direktur II Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agung Setya, di kantor Bareskrim Polri, Gedung KKP, Jakarta.
Para aktivis Bela Islam tersebut dijerat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Yayasan, dan Pasal 69 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). (desastian)