JAKARTA (Panjimas.com) – Menyaksikan para ulama yang dikriminalisasi oleh Polri di Bareskrim sungguh memilukan hati. Betapa tidak, bagaimana kelakuan para penyidik yang jauh dari profesional dalam melakukan penyidikan. Ini menunjukkan kesewenang-wenangan dari penegak hukum.
Demikian dikatakan Ismar Syafruddin, salah seorang kuasa hukum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI kepada Panjimas, Jumat (17/2) menyikapi perkara tuduhan pencucian yang diarahkan kepada para ustadz di GNPF-MUI.
Ismar yang ikut dalam pendampingan Berita Acara Pidana (BAP) mengatakan, para donatur yang menyumbang untuk dana operasional Aksi Bela Islam, datang dengan sukarela. Mereka ingin menyuarakan keadilan dan persamaan hak didepan hukum, terkait penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
“Tapi aneh, kok malah berbalik, penguasa justru mengkriminalisasikan para asatidz yang tergabung dalam GNPF dengan cara mengutak-atik rekening GNPF yang dipinjam dari Yayasan Keadilan untuk Semua(YKUS),” ujar Ismar.
Ismar mempertanyakan tindakan penyidik yang memeriksa para ustadz dengan tuduhan pencucian uang. “Kenapa bukan mengusut dugaan penyimpangan dana teman Ahok yang dananya berasal dari para cukong pemenang proyek Reklamasi yang jumlahnya fantastis, lebih dari 30 milyar.”
Juga kenapa polisi tidak mengusut dugaan transaksi tidak wajar 14 rekening gendut jenderal polisi? Atau dugaan rekening gendut Budi Gunawan yang memiliki dana hampir 100 milyar? Sebagiannya dititip direkening anaknya yang masih berumur 18 tahun.
“Tapi kenapa polisi begitu bersemangat mengusut, bahkan sudah menjadikan tersangka Islahuddin selaku relawan yang membantu mengatur proses pencairan dana GNPF dari hasil sumbangan umat Islam, yang kemudian dititipkan ke rekening Yayasan Keadilan untuk Semua.”
Dikatakan Ismar, GNPF adalah gerakan adhoc tanpa badan hukum. Kegiatannya pun tidak permanen. Karena itu peminjaman rekening tersebut bukan merupakan kejahatan. Secara hukum dibolehkan. Lagipula peruntukannya pun sangat jelas untuk membiaya aksi dan penggalangan penyatuan umat Islam di Indonesia. “Apanya yang salah? Mana niat buruknya? Siapa yang dirugikan?” ungkap Ismar. (Desastian)