JAKARTA (Panjimas.com) – Pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo yang memberi isyarat untuk kembali menunda proses pemberhentian sementara terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok menuai kontroversi.
“Kekhawatiran adanya penggiringan NKRI dari negara hukum menjadi negara kekuasaan menjadi terbukti,” ungkap Hamid Chalid, Doktor Ilmu Hukum dan Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia.
Seperti diberitakan media, Mendagri mengatakan bahwa pemberhentian sementara terhadap Ahok masih harus menunggu pembacaan tuntutan dari Jaksa. Jika Jaksa menuntut Ahok dengan tuntutan pidana penjara lima tahun, baru lah yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara. Sedangkan apabila tuntutan Jaksa kurang dari 5 (lima) tahun makamenurut Mendagri, Ahok tidak dapat dikenakan pemberhentian sementara
Pernyataan Mendagri yang dikemukakan beberapa hari lalu itu lah yang saat ini menjadi bahan perdebatan dan kritik yang luas dari masyarakat, khususnya dari kalangan ahli hukum.
Pernyataan tersebut dianggap oleh sebagian besar kalangan sebagai “akrobat” dari pemerintah yang sedang berusaha menarik ulur ketentuan pemberhentian sementara yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) agar sebisa mungkin menguntungkan Ahok.
“Apa yang dilontarkan oleh Mendagri itu jelas-jelas menyimpang dari ketentuan pemberhentian sementara Kepala Daerah yang diatur dalam UU Pemda. Tampak nyata bahwa gang penguasa yang berada di balik dukungan pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI sedang berusaha mengulur waktu (buying time) mengingat Pilkada digelar hanya dalam beberapa hari ke depan.”
Menurut Hamid, peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan ini sesungguhnya sangatlah jelas: tidak multitafsir dan tidak ada ketentuan perundang-undangan lain yang dapat dipertentangkan dengannya.
Menurut ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara dari jabatannya manakala yang bersangkutan menjadi terdakwa dalam kasus pidana yang diancam dengan hukuman (paling kurang/minimal) 5 tahun penjara.
Sementara itu, ayat (2)-nya menyatakan bahwa pemberhentian sementara itu didasarkan pada bukti register perkara di pengadilan. Sedangkan ayat berikutnya mengatur bahwa pemberhentian sementara terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Presiden.
“Sementara kita tahu bahwa Ahok telah berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penistaan Al-Qur’an yang didakwa dengan Pasal 156a KUHP yang ancaman pidananya 5 tahun penjara. Jadi secara materiil, dugaan tindak pidana yang didakwakan kepada Ahok sudah memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana yang berkonsekuensi pemberhentian sementara karena ancaman pidananya telah memenuhi ketentuan Pasal 83 UU Pemda, yakni pidana 5 tahun penjara.”
Dikatakan Hamid, sesuai ketentuan Pasal 83 UU Pemda diatas, maka semestinya Presiden sudah harus memberhentikan sementara Gubernur DKI Jakarta (Ahok) segera setelah yang bersangkutan menjadi terdakwa, yakni sejak berkas perkaranya dilimpahkan oleh Jaksa dan teregistrasi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Desember 2016 yang lalu. (desastian)