JAKARTA (Panjimas.com) – Sesuai ketentuan Undang-undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 83 ayat (1) dan ayat (3), saat seorang kepala daerah ditetapkan sebagai terdakwa, maka yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari jabatannya hingga kasusnya memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Berikut ini adalah bunyi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat 1,2, dan 3 :
1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
3) Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Sejak kasusnya disidangkan pertama kali pada 13 Desember 2016 silam dengan dakwaan melanggar Pasal 156a huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penistaan agama, sebagaimana Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jelas memenuhi kriteria tersebut.
Namun, hingga menginjak persidangan ke-10 yang digelar 13 Februari 2017, Presiden belum juga mengeluarkan surat pemberhentian sementara kepada Saudara BTP.
DPR di Komisi II menilai, Pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sebelumnya berdalih jika pemberhentian sementara Ahok harus menunggu masa cuti kampanyenya berakhir, yaitu tanggal 11 Februari 2016. Dalih ini sebenarnya tidak beralasan, kecuali sekadar untuk mengulur-ulur waktu.”
Terbukti, sesudah kewajiban cuti kampanye Ahok berakhir pada 11 Februari 2017, pemerintah tidak juga menunjukkan itikad untuk menerbitkan surat pemberhentian sementara. Pemerintah kembali berdalih jika keputusan itu harus menunggu jaksa menyampaikan tuntutan hukuman terlebih dahulu.
Dalih yang dikemukakan pemerintah dianggap tidak berdasar, karena selain bertentangan dengan ketentuan yang diperintahkan oleh Pasal 83 UU No. 23/2014, dalih itu juga bertentangan dengan penanganan kasus-kasus serupa yang pernah dilakukan pemerintah sebelumnya.
Sewaktu Gubernur Banten, Gubernur Riau, atau Gubernur Sumut tersandung masalah hukum, Keputusan Presiden pemberhentian mereka cepat sekali turun dan tidak melibatkan interpretasi hukum yang rumit.
Penyangkalan terhadap perintah undang-undang tentu saja merupakan bentuk pelanggaran hukum serius. Pelanggaran yang seolah mengistimewakan Saudara BTP tersebut merupakan alasan cukup bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia untuk menyelidiki kasus ini dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket “Ahok Gate”. (desastian)