PANJIMAS.COM – Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu, dikenal sebagai shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang hartawan dan dermawan.
Benar, ia seorang saudagar besar penuh teladan. Berasal dari Bani Zuhrah, Abdurrahman dilahirkan 10 tahun setelah Tahun Gajah. Dalam generasi shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kita mengenal istilah Assabiqunal awwalun, yakni kelompok shahabat yang masuk Islam di urutan awal. Dan Abdurrahman termasuk seorang di antaranya. Ia mengikrarkan diri sebagai Muslim tepat dua hari setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu, sebelum Baitul Arqam menjadi pusat tarbiyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Sebelum masuk Islam, Abdurrahman bin Auf dikenal dengan nama Abdu Amr Nama Abdurrahman bin Auf baru diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam setelah dirinya masuk Islam.
Selain termasuk Assabiqunal awwalun, Abdurrahman bin Auf termasuk pula dalam barisan sepuluh shahabat pilihan yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan masuk surga. Ia juga termasuk satu dari enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah setelah Umar bin Khaththab. Dan di masa Rasulullah masih hidup, ia dimuliakan dengan diserahi amanah sebagai mufti di Madinah.
Seperti halnya shahabat yang lain, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari tekanan bahkan penganiayaan oleh kaum musyrikin Quraisy. Ia termasuk salah satu shahabat yang berhijrah ke Habasyah. Lalu setelah Rasulullah dan para shahabat diperintah oleh Allah Ta’ala agar berhijrah ke Yatsrib (kemudian dinamai Madinah), Abdurrahman menjadi pelopornya. Demi menyelamatkan iman, ia rela meninggalkan harta benda miliknya.
Setibanya kaum Muslimin Makkah di Yatsrib, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mempersaudarakan mereka (yang disebut Muhajirin) dengan Anshar (penduduk asli Yatsrib). Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi al-Anshari. Seperti halnya Abdurrahman, Sa’ad adalah seorang saudagar kaya. Dirinya bertulus hati ingin memberi bantuan materi saudara barunya yang datang dari jauh. Tapi Abdurrahman menolak. Ia hanya memohon agar ditunjukkan letak pasar di kota itu. Dengan senang hati Sa’ad menunjukkannya.
Setelah mengetahui lokasi pasar, Abdurrahman bin Auf segera memulai pekerjaan yang memang menjadi keahliannya, berdagang. Berkat ketekunan dan kedekatannya dengan Allah Ta’ala, usahanya tumbuh pesat. Belum berapa lama nenjalankan bisnis di daerah yang baru, ia telah berhasil mengumpulkan harta yang lumayan banyak. Suatu hari pria ini datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata, “Saya ingin menikah, ya Rasulullah.”
“Apa mahar yang akan kau berikan pada calon istrimu?” tanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
“Emas seberat biji kurma,” jawabnya.
Nabi saw bersabda, “Laksanakanlah walimah walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah Ta’ala memberkahi pernikahan dan hartamu.”
Emas seberat biji kurma sungguh bukan barang yang murah dan dimiliki siapa saja. Namun Abdurrahman telah memilikinya.
Setelah menikah, kehidupan Abdurrahman bin Auf bertambah sejahtera. Usahanya terus berkembang dan jadilah ia seorang saudagar kaya raya. Ibarat menemukan sebongkah batu, di bawahnya terdapat emas dan perak. Begitu besar berkah yang Allah karuniakan kepadanya, sehingga dirinya mendapat julukan ‘Shahabat Bertangan Emas’.
Meski bergelimang harta, namun Abdurrahman bin Auf tidak lantas cinta kepada dunia. Imannya mengatakan bahwa harta benda dunia hanya fatamorgana. Ia adalah cobaan bagi manusia. Maka, pada saat Perang Badar, dirinya turut terjun ke medan jihad fi sabilillah. Tak hanya hartanya yang diinfakkan, tangannya pun turut memegang senjata dan berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, di medan laga. Umar bin Utsman bin Ka’ab at-Taimy salah satunya.
Tak hanya sekali saja. Di Perang Uhud, Abdurrahman ‘Si Tangan Emas’ tetap tak mau ketinggalan mengangkat senjata. Bahkan di saat banyak shahabat yang pergi meninggalkan medan tempur, dirinya tetap bertahan di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
Sebagai seorang hartawan, Abdurrahman bin Auf merupakan shahabat andalan dalam menginfakkan harta. Untuk membiayai Perang Tabuk, ia menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Bahkan dirinya sampai tak menyisakan uang belanja untuk keluarganya. Mengetahui hal itu, Umar bin Khaththab melapor kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan berbisik, “Sepertinya Abdurrahman berdosa karena tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya.”
Rasulullah lantas menanyai Abdurrahman, “Apakah engkau meninggalkan uang belanja untuk istrimu?”
“Ya,” jawabnya, “aku tinggalkan untuk mereka lebih banyak dan lebih baik daripada yang kusumbangkan.”
“Berapa?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
“Sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang Allah janjikan,” jawabnya mantab.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam wafat, Abdurrahman bin Auf tetap istiqamah menjadi penyokong dana perjuangan Islam. Bahkan ia memeroleh kemuliaan mengemban amanah menjaga kesejahteraan Ummahatul Mukminin (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam). Tugasnya ialah memenuhi segala kebutuhan materi dan mengadakan pengawalan setiap mereka pergi.
Demikian besar andil Abdurrahman bin Auf dalam perjuangan penegakan Islam di bumi, khususnya dengan harta bendanya. Hal ini patut menjadi pelajaran untuk Muslimin saat ini. Jangan sampai harta benda menjadi alat setan untuk menipu kita. Karena sejatinya gemerlap dunia hanya kepalsuan belaka.
Seperti dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu di saat Abdurrahman wafat, “Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah dan berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah selalu merahmatimu.” Abdurrahman bin Auf, Si Tangan Emas, wafat pada 652 M dalam usia 72 tahun. Wallahu a’lam. [IB]