YANGON (Panjimas.com) – Program Pangan Dunia PBB di Myanmar pada akhir Januari lalu melaporkan bahwa WFP (World Food Program) menghadapi kekurangan dana senilai $ 19 juta dollar, hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah Muslim Rohingya yang kini terlantar akibat kekerasan di negara bagian Rakhine.
Kebutuhan dana tambahan sangatlah mendesak, meskipun sumbangan terbaru senilai $ 7,4 juta dollar datang dari Amerika Serikat, Australia, dan Swedia untuk para pengungsi Rohingya, demikian menurut laporan “Irrawaddy”, sebuah majalah online lokal pada hari Jumat (27/01) akhir bulan lalu.
“Kami tidak memiliki dana untuk melanjutkan operasi-operasi [WFP] hingga Juni, tapi kami dalam kondisi baik sampai akhir Februari,” jelas petugas Kemitraan WFP Arsen Sahakyan kepada Irrawaddy.
Sahakyan mengatakan bahwa anggaran WFP Myanmar menjadi “tak terduga dan tidak terencana” karena begitu banyaknya kebutuhan penting dan mendesak bagi para pengungsi di daerah Maungdaw Rakhine.
“Kami benar-benar tidak mengantisipasi bahwa sesuatu seperti ini mungkin terjadi,” tandas Arsen Sahakyan, seperti dilansir Anadolu.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sekitar 100.000 Muslim Rohingya kini masih berada dalam keterbatasan dan hidup di kamp-kamp pengungsian kumuh di mana mereka ditolak akses gerakan, pendidikan dan kesehatannya.
Sementara itu menurut UN’s Office for the Coordination of Humanitarian Affairs [UNCHA], saat ini terdapat lebih dari 87.000 Muslim Rohingya terpaksa mengungsi, sebagian tidak memiliki kewarganegaaraan resmi.
Di antara mereka, setidaknya 21.000 orang diperkirakan mengungsi di daerah dekat perbatasan barat Myanmar dengan Bangladesh.
Kekerasan di negara bagian Rakhine menuai kecaman keras internasional terhadap pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, dirinya dianggap kurang proaktif dalam membantu anggota minoritas Muslim Rohingya, yang ditolak kewarganegaraannya di Myanmar yang didominasi umat Buddha itu.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar?[IZ]