JAKARTA (Panjimas.com) – Media mainstream yang lolos verifikasi adakalanya suka menyampaikan berita hoax. Jika terbukti dan mendapatkan laporan dari masyarakat, Dewan Pers tidak akan ragu-ragu untuk mencabut verifikasimedia yang bersangkutan.
Hal itu dikatakan Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Ahmad Djauhari kepada wartawan di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (6/1), usai menggelar jumpa pers terkait verifikasi perusahaan pers.
Ketika ditanya, bagaimana, jika media yana sudah terverifikasi, ternyata masih saja melakukan pelanggaran, misalnya menyampaikan berita hoax.
“Jika ada laporan dari masyarakat, tentu akan kami cabut verifikasinya. Begitu juga, ketika terjadi kesalahan fatal dan berkali-kali menyampaikan berita hoax , akan dicabut sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) nya.”
“Kami mengakui Dewan Pers bukan lembaga malaikat yang bisa memantau wartawan yang menyebarkan berita hoax. Kecuali kami menerima laporan dari masyaralat. Di Dewan Pers, kami punya Komisi pengaduan. Sudah beberapa yang sudah kami tindak,” kata Djauhar.
Dewan Pers dan SPS juga membantah persyaratan verifikasi perusahaan pers merupakan perintah Presiden. “Kami adalah lembaga yang independens. Rujukannya adalah Undang-undang Pers. Verifikasi perusahaan pers adalah respon dari komunitas pers, bukan pemerintah.”
Di era sekarang ini, pemerintah tidak boleh melakukan pembredelan ataupun pembatasan. Mengingat, kebebasan berbicara dan berkspresi dilindungi UU. Ketika ditanya, apa bedanya blokir dengan bredel, Djauhar mengakui ada kesamaan.
Namun demikian, Djauhar tidak memungkiri bahwa berita yang diframing adalah sesuatu yang wajar, selama tidak melanggar kode etik jurnalistik. Setiap media punya keberpihakan. Hal itu juga dilakukan media barat saat pemilihan Presiden Obama. Namun begitu, media harus berpihak pada kebenaran. (desastian)