JAKARTA (Panjimas.com) – Kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat. Itu diatur dalam UU RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tapi, faktanya, media Islam diblokir beberapa kali tanpa penjelasan dan pemberitahuan oleh pihak Kominfo.
“Pemblokiran itu tak bedanya dengan pembredelan dan pemberangusan seperti dimasa Orde Baru,” kata Direktur Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat, Dr. Usman Yatim saat Silaturahim media Islam dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di gedung MUI, Jakarta, beberapa waktu lalu, (2/2).
Dalam kesempatan itu, Usman Yatim mengajak jurnalis muslim, untuk mendaftarkan medianya ke Dewan Pers. Seperti diketahui, salah satu Dewan Pers berdasarkan UU Pers No. 40 tahun 1999, pasal 15 ayat (2), yaitu: Mendata perusahaan pers nasional.
Agar diakui sebagai media atau pers, maka sebuah perusahaan pers harus berbadan hukum, mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab dengan mengisi formulir pendataan dan lampiran yang menjadi persyaratan. Media yang telah terverifikasi Dewan Pers akan dicantumkan Barcode.
“Kalau formalitasnya begitu, kita ikuti. Sehingga medianya tidak disebut abal-abal. Atau media yang distigmakan anti-NKRI, anti-bhineka, intoleran, radikalisme, hoax dan pencitraan buruk lainnya.“
Media yang disebut abal-abal adalah media yang tidak berbadan hukum, Wartawannya tidak mengikuti Kode Etik Jurnalistik dan tidak profesional dan tidak sesuai standar kompetensi wartawan.
“Media Islam bisa kok menjadi media mainstream, kalau mau. Tentu diawali dengan mendaftarkan diri ke Dewan Pers, kode etik jurnalistiknya ditaati, tidak mencampuri antara fakta dengan opini sang wartawan, copas sana-sini, terpenting mengikuti standar kompetensi wartawan menuju profesionalitas.
“Jika formalitasnya sudah sudah diikuti, maka pihak Kominfo tidak bisa memblokir media Islam begitu saja. Kominfo harus konsultasi atau tabayun terlebih dulu tabayayun kepada MUI. Itu harapannya ke depan dari silaturahim media Islam dan MUI ini,” jelas Usman Yatim.
Jika memang, ada media yang mengatasnamakan media Islam, tapi suka mengkafirkan kelompok Islam lain, atau anti NKRI, anti-bhineka, maka MUI tak bisa melakukan pembelaan, setidaknya melakukan klarifikasi terlebih dulu.
“Karena itu forum silaturahim media Islam ini menjadi penting sebagai wadah jurnalis muslim, dan pertemuannya perlu diintensifkan. Dalam hal ini MUI menjadi fasilitator.”
Sementara itu, Prof. Ibnu Hamad (Pakar Ilmu Komunikasi dari UI) yakin, bahwa media Islam tidak ada yang anti Pancasila, anti NKRI, anti-bhineka. Apalagi ada yang menyebut istilah, media mainstream dan downstream.
”Jurnalis muslim yang bekerja di media Islam, jangan sedih hati dan jangan minder, dengan tuduhan media Islam sebagai media partisan. Padahal media mainstream pun justru yang partisan. Mereka suka pilih-pilih narasumber, fakta diframin, bahasa diatur sedemikian rupa. Bahkan bukan hanya pers, sekarang ini science dan riset atau survey pun diframing. Ini disayangkan,” jelas Ibnu Hamad. (desastian)