JAKARTA (Panjimas.com) – Untuk menyegarkan ingatan kembali, terdapat tiga pasal terkait delik kesusilaan pada KUHP (yaitu pasal 284, 285, 292) yang diajukan pemohon dalam persidangan uji materiil (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Permohonan Judicial Review yang kami ajukan ini sangat sederhana dan logis yaitu perluasan dan perubahan serta keutuhan makna dari tiga pasal delik kesusilaan yang sudah ada dalam KUHP,” ujar Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, Rita Hendrawaty Soebagio, Sp.Psi., M.Si dalam siaran persnya.
Pada pasal 284 misalnya, larangan zina antara laki laki dan perempuan hendaknya ditujukan, baik kepada salah satu atau keduanya sudah terikat perkawinan, atau salah satu atau keduanya tidak dan atau belum terikat perkawinan.
Kemudian, pada pasal 285, larangan bersetubuh dengan paksaan (perkosaan) hendaknya ditujukan baik kepada pelaku maupun korbannya yang berasal dari laki laki maupun perempuan,
Sedangkan pasal 292, larangan cabul sesama jenis hendaknya ditujukan baik dilakukan oleh sesama orang dewasa, oleh orang dewasa dengan anak, maupun dilakukan oleh sesama anak.
Dengan demikian terdapat konsistensi antara muatan pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP dengan nilai-nilai dasar kesusilaan dari sumber hukum dan dasar Negara di Indonesia (UUD 1945 dan Pancasila).
“Sayangnya, terdapat berbagai pihak yang keberatan dan menentang permohonan judicial review ini, walau diantara mereka mengakui terdapat peningkatan kerusakan moral dan dampak negatif penyimpangan perilaku seksual terhadap perkembangan penyakit menular dan HIV/ AIDS,”papar Rita.
Alasan Penolakan
Para pihak tersebut menolak dengan berbagai alasan, diantaranya adalah kekhawatiran bahwa negara melakukan kriminalisasi berlebihan, perilaku seksual adalah hak privat dimana negara tidak boleh intervensi, hubungan sesama jenis merupakan ekspresi identitas gender dan hak privat, merupakan bagian dari HAM.
Para pihak terkait lebih menghawatirkan negara melakukan kriminalisasi “berlebihan” dan akan banyak orang diberi label sebagai “penjahat” sehingga banyak orang dipenjara dan penjara akan penuh, dibandingkan mengkhawatirkan kerusakan moral generasi muda dan ancaman ketahanan keluarga.
Dalam pandangan pihak terkait tersebut, pengaturan hukuman zina akan menyebabkan gangguan terhadap aktivitas ekonomi para suami dan mengganggu ketahanan keluarga.
“Judicial Review yang kami ajukan ini menekankan pentingnya hukum di Indonesia yang memenuhi aspirasi norma dan agama yang dianut penduduk dan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, hal yang sangat wajar, bahkan seharusnya, bahwa norma sosial diserap dalam hukum pidana dalam pengaturan prilaku seksual dan hubungan paling intim antar manusia yang menentukan kemuliaan dan peradaban ummat manusia juga peradaban bangsa,” jelas AILA.
Namun sayangnya sebagian dari para pihak terkait nampaknya tidak berpandangan demikian, melainkan norma (terlebih norma agama) hendaknya tidak menjadi landasan atau seminimal mungkin mewarnai hukum pidana. Sehingga dalam persidangan Judicial Review ini muncul pendalaman kapan saat yang tepat dimana norma (terlebih bersumber dari agama) masuk dan diserap hukum pidana.
Para pemohon berpandangan bahwa inilah saatnya dilakukan judicial review terhadap KUHP untuk pasal-pasal yang terkait delik kesusilaan, sehingga memenuhi norma dan nilai-nilai agama yang dianut masyarakat Indonesia.
Para pihak terkait lebih menonjolkan pentingnya perlindungan hak privat dimana negara tidak boleh mengintervensinya karena bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM 1948. Nampak jelas selama persidangan Judicial Review ini terdapat kontestasi atau pertarungan ideologi antara ideologi konvensional yang berpijak pada nilai-nilai keIndonesiaan dan sosial budaya dengan ideologi liberal dan sekuler. (desastian)