JAKARTA (Panjimas.com) – Saat ini Media Islam selalu diposisikan sebagai media yang sangat lemah dari sisi kepemilikan dan permodalan (bisnis), jauh dari kualitas dan kerap dicitrakan buruk dengan stigmatisasi radikal, teror, hoax, fitnah, ujaran kebencian, anti-kebhinekaan, intoleran, anti Pancasila, hingga anti-NKRI.
Hal itu dikatakan Direktur Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat, Usman Yatim dalam Silaturahim Media Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Gedung MUI, Jakarta, Kamis (2/2)
Usman Yatim yang bicara soal “Media Islam dan Produk Jurnalistik” mencermati, media Islam kerap dianggap menyebarkan hoax. Tak ayal, media Islam menjadi korban pemblokiran oleh Kominfo tanpa pemberitahuan dan menjelaskan konten apa yang dianggap negative.
Usman Yatim mencatat, sudah tiga kali media Islam diblokir: Pertama, pada tanggal 30 Maret 2015, Kedua, tanggal 9 September 2016, dan ketiga tanggal 3 November 2016.
Biar tidak dikesankan abal-abal, Usman Yatim menyarankan kepada media Islam agar terdaftar di Dewan Pers, lalu berbadan hukum, memiliki pengelola redaksi dan penanggungjawabnya, dan wartawannya pun harus profesional dengan mengikuti Uji Kompetensi Wartawan.
“Pengakuan Kompetensi Wartawan diuji oleh lembaga uji seperti PWI, AJI, yang ditunjuk Dewan Pers (Kartu dan bersertifikat). Saat ini syarat dan aturan Uji Kompetensi Wartawan, medianya harus berbadan hukum, terverivikasi atau barcode oleh Dewan Pers.”
Usman Yatim menegaskan, perlu ada pemisahan media Islam yang mainstream dan downstream (medsos). Posisi dan citra media Islam harus diperjuangan menjadi media maenstrem.
“Mainstream atau downstream tetap harus disemangati media dan wartawannya agar lebih profesional. Terpenting, perlu ada wadah yang mengayomi media Islam,” harap Usman Yatim.
Peran Media Islam
Pakar Ilmu Komunikasi Prof. Ibnu Hamad bicara tentang “Peran Media Islam dalam Pengembangan Citra Islam dan Umat Islam”
Ibnu menjelaskan, ada beberapa doktrin ilmiah yang diberikan seorang tentang berita, seperti berita yang baik adalah yang memenuhi unsure 4W+1H.
“Berita yang baik adalah makhluk suci yang terhindar dari kabar dusta dan perbuatan fitnah. Berita semata memaparkan fakta dan data. Dalam berita wartawan tidak boleh mencampurkan fakta dan opini wartawan.”
Kemudian, kegiatan jurnalisme dikontrol oleh norma dan etika media. Identitas tertinggi berita adalah obyektivitas dan disertai cover both sided (berimbang) dan cover more sided. Itu idealnya.
Tapi praktiknya, saat dituangkan menjadi sebuah berita, sang wartawan punya sudut pandang yang berbeda dalam memberikan judul berita. Ibnu Hamad ambil contoh, berita yang dibuat oleh Kompas, Warta Kota dan Harian Non Stop, perihal peristiwa percobaan perkosaan yang menimpa seorang mahasiswi Universitas Indonesia.
Kompas misalnya, membuat judul “Pelecehan Seksual di Hutan UI, Korban Masih Trauma”. Berbeda dengan Warta Kota dengan judul “Pemerkosa Keliaran di UI”. Sedangkan Harian Non Stop jauh lebih nakal, “UI Sarang Pemerkosa”.
“Masing-masing media punya strategi pemberitaan tersendiri, mulai dari strategi Signing, Framing dan Priming. Termasuk Discourse berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi,” ujar Ibnu Hamad.
Nah, untuk pemberitaan Islam dan umat Islam, jurnalis Muslim hendaknya mengedepankan Maqasidus Syariah atau memberitakan tentang kepentingan untuk membela Islam dan umat Islam. (desastian)