JAKARTA (Panjimas.com) – Kekerasan berulang-ulang yang terjadi di dunia pendidikan, terutama di perguruan tinggi, seperti lingkaran yang hanya berputar-putar pada orbitnya saja. Dalam kurun waktu sebulan, sudah terjadi dua peristiwa kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya beberapa orang mahasiswa.
Pertama, kekerasan yang terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara yang mengakibatkan satu orang mahasiswa tewas karena dianiaya seniornya. Kedua, meninggalnya tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta setelah mengikuti pendidikan dasar organisasi pencinta alam kampus.
Merespon hal itu, Senator Jakarta Fahira Idris mengungkapkan, konsekuensi hukum yang harus ditanggung oknum mahasiswa pelaku tindak kekerasan pada tahun-tahun sebelumnya, ternyata belum menjadi pelajaran berharga.
Bahkan ancaman sanksi pemecatan hingga pidana penjara, belum benar-benar menjadi efek jera, sehingga tindak kekerasan yang dilakukan senior kepada juniornya masih saja terjadi, beberapa diantaranya dengan pola dan kegiatan yang sama.
“Selama perguruan tinggi tidak mengidentifikasi potensi-potensi kekerasan yang bakal terjadi di kampusnya masing-masing dan merumuskan formulasi mencegahnya, maka di tahun-tahun mendatang peristiwa menyakitkan seperti ini akan terulang,” ujar Fahira.
Putri Fahmi Idris itu berharap, tahun ini harus jadi yang terakhir, mahasiswa yang meregang nyawa, karena tindakan konyol seniornya. Jangan ada lagi orang tua yang mengantar anaknya ke kampus segar bugar, tetapi pulang tinggal jenazah.
“Jangan ada lagi orang tua yang hancur hatinya,” tukas Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris yang salah satu lingkup tugasnya mengawasi gerak laju dunia pendidikan, di Jakarta (31/1).
Tradisi Kekerasan
Menurut Fahira, realitas kekerasan di perguruan tinggi yang masih saja terjadi, walau sanksi tegas sudah diberlakukan menunjukkan kekerasan sudah menjadi mata rantai bahkan budaya. Karena itu, masing-masing kampus harus melakukan kajian komprehensif atas segala hal yang dapat memicu tindakan kekerasan sehingga bisa merumuskan strategi mencegahnya.
Masing-masing kampus, tambah Fahira, mempunyai potensi dan pola praktik kekerasan yang berbeda-beda, walau mungkin mempunyai gejala-gejala yang sama, misalnya, bersemainya potensi kekerasan biasanya terjadi di tahun ajaran baru atau pada saat mengikuti kegiatan ekstra kurikuler
Menurut Fahira, yang menyebabkan kekerasan kerang terulang, karena tindak kekerasan senior kepada junior dianggap hal biasa. Bahkan dianggap tradisi, budaya, apalagi dianggap sebagai ajang memperkuat fisik dan mental. Karena itu tradisi kekerasan itu harus dihapus dari benak semua mahasiswa.
“Keyakinan seperti inilah yang membuat kekerasan terus berulang. Pendekatan mencegahnya harus komprehensif, jika mata rantai kekerasan ini mau diputus. Saya berharap pimpinan kampus mengambil inisiatif ini agar tidak terus menjadi seperti pemadam kebakaran dalam setiap tindak kekerasan yang terjadi di kampus.” []