SOLO (Panjimas.com) – Launching dan bedah buku Serial Terorisme Demokrasi 2 dengan tema “Densus dan Terorisme Negara” yang ditulis pengacara senior Kota Solo, Dr. Muhammad Taufiq, SH,MH, sukses digelar di Daegu Korean Grill, Jalan Rajiman 402, Solo, Jawa Tengah, Jum’at (27/1/2017).
Prof Dr Supanto, Dekan Universitas Sebelas Maret (UNS) memberikan sambutan bangga karena mahasiswanya, Dr M Taufiq memiliki prestasi yang melebihi dirinya. Sangat kritis kepada penegak hukum terkait adanya kasus-kasus terorisme, kata dia bukan berarti mendukung teroris, namun sebagai kontrol masyarakat terhadap kinerja aparat kepolisian.
“Mengkritisi penegak hukum dalam hal teroris bukan kemudian berarti mendukung teroris, tapi aparat memang perlu dikontrol dalam menata negeri ini,” kata dia.
Sementara itu, M Taufiq menjelaskan isi buku tersebut lebih banyak mengkritisi kinerja Densus 88 dan pihak kepolisian yang serampangan. Hendaknya menurut dia, kepolisian melakukan cara komprehensif, edukatif, jauh dari kriminalisasi dan kekerasan. Kasus terorisme yang dianggap extraordinary crime bukan berarti berlaku penanganan extraordinary pula.
“Tentu tidak, kita tetap mengacu KUHP, setidaknya ada alat bukti dua. Bukan kemudian karena tidak ada alat bukti kemudian mencari Al-Quran atau yang menjadi viral sekarang bendera yang ditulisi Laa ilaha illallah. Saya kira ini sebagai sumber kenaifan yang harus diluruskan,” ujar pimpinan Lawyer Muhammad Taufiq & Partner (MT&P) itu.
M Taufiq menilai aksi terorisme ada karena cara-cara penanganan dengan menggunakan teror baru. Aparat hukum khususnya Densus 88 malah mempertontonkan kekerasan pada teroris.
“Ketika kita memberantas terorisme jangan menggunakan cara-cara teror. Sekarang ada stigma bahwa teroris itu mengerucut pada pondok pesantren, terorisme itu hanya menggunakan agama sebagai tameng,” katanya.
Inti dari buku tersebut bahwa akar dari terorisme adalah adanya perlakuan diskriminasi terhadap seseorang maupun kelompok. M Taufiq menyebut bahwa fakta realitas penegakan hukum banyak terjadi perlakuan yang tidak adil terhadap pelaku tindak pidana sejenis kemudian diberikan hukuman yang berbeda.
“Kesimpulan saya salah satu yang menyebabkan terorisme itu karena adanya diskriminasi. Jangan sampai memberantas terorisme justru menciptakan terorisme baru. Akar kejahatan adanya perlakuan yang tidak adil, misalkan kasus bom Alam Sutera, kalau ini didiskripsi ini sebagai teroris. Namun penangananya karena tidak Muslim maka disebutnya tidak teroris tapi disebutnya kejahatan kriminal biasa,” cetusnya. [SY]