DENPASAR (Panjimas.com) – Forum Komunikasi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Bali dan DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Bali, Minggu (29/1/2017), menggelar diskusi dengan tema “Mengukuhkan Semangat Kebhinekaan: Indonesia Adalah Kita”. Masalah intoleransi dianggap meresahkan masyarakat, termasuk di Bali.
Diskusi menghadirkan narasumber mantan anggota KPU RI, I Gusti Putu Artha, Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha, pengamat sosial Wayan Suryatarta, Ketua LBH Muhammadiyah Bali, Zulfikar Ramly, dan Wakil Ketua MUI Pusat, Irjen. Pol (Purn.) H. Anton Tabah.
Menurut Artha, saat ini elit-elit politik sedang dalam pertarungan perebutan sumber daya yang ada di negeri ini, baik alam maupun manusia. Pertarungan tersebut memunculkan kelompok-kelompok fundamentalis di berbagai agama.
Dikatakan, di Bali juga terdapat politisi-politisi yang menggoreng isu-isu SARA, khususnya menjelang helatan Pilgub 2018. Menurutnya, politisi yang melakukan hal tersebut jelas merupakan seorang fundamentalis.
Artha mengaku terusik dengan mulai banyaknya prilaku-prilaku intoleran yang terjadi di Indonesia, termasuk di Bali. Ia berharap kepada dua ormas Islam di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) tetap terus eksis dalam menjaga toleransi.
“Indonesia itu toleransi, selama NU dan Muhammadiyah masih eksis amankan toleransi,” ujar Artha, seperti dikutip Bali Berkarya.
Sementara Ketua LBH Muhammadiyah Bali, Zulfikar Ramly, juga mengatakan, akhir-akhir ini mulai ada kelompok-kelompok kecil yang merusak toleransi di Bali. Karena itu, ia mengajak berbagai elemen yang ada di Bali untuk menjaga toleransi di Bali. Zulfikar mengingatkan agar jangan membawa-bawa isu intoleran yang ada di luar Bali ke Bali.
Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha, mengaku prihatin terkait lunturnya toleransi di Indonesia. Sementara itu, Wakil Ketua MUI Pusat, Irjen. Pol (Purn.) H. Anton Tabah mengaku bangga dengan tingginya toleransi di Bali. Menurutnya, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kemenag RI pada tahun 2015 menempatkan Bali sebagai daerah nomor dua paling toleran di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Anton juga mengaku prihatin dengan semakin tingginya kasus intoleransi yang semakin meninggi di Indonesia. Menurutnya, situasi saat ini mirip dengan zaman PKI di era 1965. Sedangkan Pemerhati Sosial, Wayan Suryatarta, menyatakan, sebenarnya tidak ada organisasi radikal di Bali. Namun, menurutnya, yang ada hanya ada oknum-oknum yang ingin menghancurkan tatanan kedamaian yang ada di Bali. [AW/BB]