KUALA LUMPUR (Panjimas.com) – Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Kamis (19/01) pekan lalu menyatakan “keprihatinan serius dan mendalamnya” tentang kekerasan di negara bagian Rakhine, yang telah menewaskan ratusan Muslim Rohingya dan memaksa puluhan ribu penduduk Rohingya melarikan diri dari Myanmar.
Dalam “komunike” puncak yang dikeluarkan setelah pertemuan mengenai nasib minoritas Muslim Rohingya, para Menteri Luar Negeri OKI mendesak pemerintah Myanmar segera mengambil langkah-langkah tegas untuk memulihkan ketenangan di daerah-daerah yang terkena dampak dan melindungi kelompok-kelompok rentan.
“Pemerintah Myanmar harus memastikan bahwa pasukan keamanan bertindak sesuai dengan aturan hukum dan bahwa semua pelaku tindak kekerasan harus bertanggung jawab,” tegas para Menlu negara-negara anggota OKI, dikutip dari Anadolu.
Para anggota OKI juga menegaskan pemerintah harus mematuhi hukum dan perjanjian internasional serta norma kemanusiaan, dan berupaya untuk menghentikan kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas Rohingya sebagai upaya untuk menghentikan diskriminasi dan kekerasan terahdap kelompok budaya dan identitas tertentu [Muslim] yang terus berlanjut.
Sementara memperbaharui seruannya untuk pemulihan kewarganegaraan bagi Muslim Rohingya yang dicabut pada tahun 1982, OKI juga mendorong Myanmar untuk berupaya menghilangkan “akar penyebab yang mempengaruhi Insiden kekerasan terhadap Minoritas Muslim Rohingya, sembari menyerukan pada masyarakat internasional untuk mendukung Muslim Rohingya dengan bantuan kemanusiaan.
Sejak Oktober, pemerintah Malaysia telah mengkritik keras pemerintah dan militer Myanmar atas kekerasan yang sedang berlangsung di Rakhine – bahkan beberapa pejabat tinggi Malaysia seperti PM Najib Razak menyebut tindakn otoritas Myanmar sebagai “pembersihan etnis”.
Dalam orasinya di depan sekitar 5.000 Muslim Malaysia di Kuala Lumpur, PM Najib Razak mengatakan pemerintah Myanmar harus menghentikan tindakan keras berdarah di Rakhine, yang telah membuat ribuan Muslim Rohingya melarikan diri, banyak cerita tentang pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan.”
“Apa gunanya Aung San Suu Kyi dianugerahi hadiah Nobel?” tanya PM Najib kepada kerumunan massa.
“Kami ingin memberitahu Aung San Suu Kyi, sudah cukup! … Kita harus, dan kami akan membela Muslim dan Islam,” ujar Najib kepada ribuan massa dengan meneriakkan Takbir “Allahu Akbar” (“Allah Maha Besar”).
“Kami ingin OKI (Organisasi Kerjasama Islam) untuk bertindak! Tolong lakukan sesuatu. PBB lakukanlah sesuatu. Dunia tidak bisa duduk dan menonton genosida yang terjadi,” kata PM Najib Razak.”
Malaysia bersikap tegas dengan memboikot 2 pertandingan sepakbola yang dijadwalkan berlangsung di Myanmar pada bulan Januari dan meminta tindakan segera dari Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi.
Bulan Desember lalu, Wakil Direktur Jenderal Kantor Kepresidenan Myanmar menanggapi dengan mengatakan bahwa prinsip-prinsip Badan Regional Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), di mana kedua negara [Myanmar-Malaysia] adalah anggota ASEAN, “dilarang mencampuri setiap urusan internal negara anggota lain.
Mayoritas Muslim Malaysia telah menyuarakan kritik keras terhadap otoritas Myanmar dalam penanganan krisis Rohingya.
Akhir bulan November lalu, pemerintah Malaysia memanggil Duta Besar Myanmar di Kuala Lumpur, sementara sekitar 1,000 Muslim Malaysia dan pengungsi Rohingya berbaris melakukan aksi protes ke depan Kedutaan Myanmar di ibukota Malaysia dengan membawa spanduk-spanduk mengecam genosida Rohingya.
Seorang Menteri senior Malaysia bahkan telah menuntut ASEAN, bersama dengan sepuluh negara anggota blok Asia Tenggara itu, untuk meninjau keanggotaan Myanmar, sementara itu pernyataan bernada keras dari Kementerian Luar Negeri Malaysia pada Sabtu (03/12) menuding Myanmar terlibat dalam “pembersihan etnis.”
Perlu dicatat bahwa PBB mengklasifikasikan minoritas Muslim Rohingya sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di seluruh dunia.[IZ]