JENEWA (Panjimas.com) – Penyidik Organisasi PBB untuk Hak Asasi Manusia PBB (UNHR) mengkritik tindakan keras pemerintah Myanmar pada minoritas Muslim Rohingya, seperti dilansir IINA.
Pejabat UNHR itu juga mendesak militer Myanmar untuk menghormati hukum dan hak asasi manusia.
Pihak berwenang Yangoon mengatakan militer melancarkan operasi keamanan untuk menanggapi apa yang mereka katakan adalah serangan pada Oktober 2016 oleh gerilyawan di pos perbatasan di dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh di mana 9 polisi tewas.
Sejak itu, setidaknya 86 orang telah tewas dan PBB mengatakan setidaknya 65.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh.
Warga dan pengungsi Rohingya menuduh militer telah membunuh, memperkosa dan menyiksa dan menangkapi para warga sipil sambil membakar desa-desa Muslim di wilayah barat laut negara bagian Rakhine.
Pemerintah Myanmar, yang saat ini dipimpin oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, membantah tuduhan tersebut dan bersikeras bahwa operasi kontra-pemberontakan yang sedang berlangsung.
“Ini akan menjadi sangat penting bagi pasukan keamanan untuk selalu bertindak dalam parameter aturan hukum dan sesuai dengan hak asasi manusia,” tegas Yanghee Lee, Pelapor Khusus PBB tentang Hak Asasi Manusia di Myanmar, saat berbicara pada akhir kunjungannya di Myanmar, dikutip dari Kashmir Monitor News.
Lee mengatakan Ia menemukan klaim pemerintah bahwa Rohingya telah membakar rumah-rumah mereka sendiri “sangat luar biasa” dan menyarankan bahwa rekaman video terbaru dari pemukulan polisi-polisi di desa Muslim Rohingya bisa jadi bukan merupakan insiden isolasi, tetapi praktek yang lebih umum.
Lee mengatakan serangan di pos perbatasan yang terjadi dalam konteks dekade panjang diskriminasi sistematis dan melembaga terhadap minoritas Muslim.
“Banyak Individu mengalami putus asa dan mengambil tindakan putus asa,” pungkas Lee.
Dia mengatakan bahwa jika penduduk yang tertindas itu, merasa pemerintah baru dapat mengatasi masalah mereka, maka militan tidak akan mampu “membajak perjuangan mereka”, tandasnya.
Kesaksian tentang penyiksaan, pemerkosaan dan pemukulan, serta pembakaran rumah-rumah Muslim Rohingya telah banyak dilaporkan media-media internasional.
Berikut, kesaksian seorang pengungsi Rohingya bernama Lalu Begum yang dihimpun oleh Panjimas, mengutip laporan CNN dan BBC.
Beberapa pengungsi Rohingya mengatakan kepada CNN bahwa mereka mengalami pemerkosaan, penyiksaan, dan menyaksikan rumah-rumah mereka dibakar dan para anggota keluarganya dieksekusi.
“Jika (militer) menemukan ada anak laki-laki berusia di atas 10 tahun, mereka membunuh mereka. Para Pria juga ditangkapi oleh militer,” kata Lalu Begum.
“Ketika militer datang, kami melarikan diri dari rumah kami. Saya tidak tahu apakah suami saya sekarang hidup atau mati.”, pungkasnya.
Pembersihan Etnis
Begum, saat ini tinggal di kamp Kutupalong di Bangladesh selatan, Ia mengatakan kepada CNN beberapa perempuan di desanya telah diperkosa oleh tentara rezim Myanmar.
“Ketika mereka melihat wanita cantik, mereka meminta air, kemudian mereka masuk ke dalam rumah dan memperkosa mereka,” jelasnya.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
“Ini tampaknya menjadi tujuan militer Myanmar untuk membersihkan etnis populasi ini,” pungkasnya kepada CNN.
BBC melaporkan bahwa John McKissick, perwakilan Badan Pengungsi PBB, UNHCR, menyatakan bahwa “pasukan Myanmar telah membunuhi dan menembaki mereka [Rohingya], menyembelih anak-anak mereka, memperkosa wanita-wanitanya, membakar dan menjarah rumah-rumah mereka, memaksa mereka [Rohingya] untuk menyeberangi sungai menuju wilayah negara tetangga Bangladesh.”
Puluhan ribu Rohingya telah melintasi perbatasan selama beberapa dekade untuk mencari perlindungan di beberapa kamp pengungsian di dekat Cox Bazaar.
“Sekarang sangat sulit bagi pemerintah Bangladesh untuk mengatakan bahwa “perbatasannya terbuka” karena ini lebih lanjut akan mendorong pemerintah Myanmar untuk melanjutkan kekejaman dan terus mendorong mereka mengusir Rohingya sampai mereka mencapai tujuan akhirnya yakni pembersihan etnis minoritas Muslim di Myanmar,” pungkas John McKissick kepada BBC.
Jalan Mematikan
Para pengungsi di Kutupalong mengatakan mereka meninggalkan rumah-rumah mereka di tengah malam, berpindah dari desa ke desa untuk mencoba dan menghindari tentara, kemudian mereka melintasi Sungai Naf untuk menyeberang ke Bangladesh.
“Butuh waktu 4 hari,” kata Begum. “Ketika desa kami dibakar, kami pindah ke desa lain, dan terus mengubah posisi kami. Dengan cara ini kami akhirnya sampai ke tepi sungai.”
Sepanjang perjalanan yang berbahaya ini, banyak anggota keluarga kami yang hilang.
“Ketika kami memulai perjalanan kami, ada 6 anggota keluarga kami. Kini Kami kehilangan 3 anggota keluarga kami,” pungkas adik ipar Lalu Begum, Nassima Khatun mengatakan kepada CNN.
“Suami saya dan anak laki-laki saya dibunuh, dan anak saya lainnya hilang.”
CNN tidak dapat secara independen memverifikasi laporan-laporan ini dari pengungsi – ataupun video-video yang diposting di media sosial, yang muncul untuk menunjukkan kekerasan dan korban-korban dalam kekejaman di Rakhine – wilayah Rakhine saat ini berada dalam blokade operasi zona militer dengan larangan dibukanya akses media dan lembaga bantuan kemanusiaan.
“Kami telah meminta pemerintah untuk menyediakan kami akses, sehingga kami dapat memperkirakan angka yang sebenarnya,” kata John McKissick.
“Kami sendiri melihat (para pengungsi) melarikan diri melintasi perbatasan, memasuki wilayah Bangladesh, di hutan, di jalan-jalan utama, di desa-desa, di kamp-kamp darurat.”, ujar pejabat UNHCR itu.
Desa-Desa Muslim Rohingya Dihancurkan
Sebuah laporan Human Rights Watch baru-baru ini menunjukkan gambar-gambar satelit, dimana 1.250 rumah Muslim Rohingya dibakar oleh pihak berwenang Myanmar, laporan HRW ini ditolak pemerintah, lantas menyebut bahwa “penyerang” dari dari desa-desa Rohingya lah yang melakukan pembakaran.
“Gambar-gambar satelit terbaru ini sangat mengkhawatirkan dan mengkonfirmasi bahwa kehancuran di desa-desa Muslim Rohingya jauh lebih besar dan ternyata ada di lebih banyak tempat dari yang pemerintah akui,” kata Brad Adams, Direktur Human Rights Watch Kawasan Asia.
“Serangan-serangan pembakaran jelas-jelas dilakukan terhadap 5 desa Muslim Rohingya, ini adalah masalah keprihatinan dimana pemerintah Myanmar perlu menyelidiki dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab.”
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
“Myanmar harus mengikuti hukum internasional dan menghormati hak asasi manusia, dan mereka tidak melakukan itu sekarang, dan tampaknya bahwa pemerintah yang dipilih secara demokratis tidak memiliki kontrol atas militer,” kata John McKissick, pejabat UNHCR.
CNN telah meminta kantor Suu Kyi untuk berkomentar pada beberapa kesempatan, tetapi kantor Suu Kyi belum memberikan tanggapan, tentang situasi ini.
Kami (Pengungsi Rohingya) Tidak akan kembali!, Mereka Akan Membunuhi Kami!
Lalu Begum salah satu pengungsi Rohingya di perbatasan, mengatakan Perginya mereka ke Bangladesh adalah karena kurangnya tindakan pemerintah, sehingga menyebabkan dia dan keluarhanya memutuskan untuk pergi.
“Di desa-desa kami, di mana kami tinggal, tidak ada Muslim Rohingya yang tersisa. Semua dari mereka melarikan diri dari rumah-rumah mereka,” pungkasnya.
Untuk Nassima Khatun dan banyak pengungsi Rohingya lainnya, kembali ke Myanmar bukanlah sebuah pilihan, setidaknya sampai kekerasan berakhir.
“Kami meninggalkan semua barang-barang kami di sana. Kami meninggalkan segalanya untuk menyelamatkan hidup kami. Sekarang, bagaimana bisa kami kembali?” kata Khatun.
“Mereka akan membunuh kami.” [IZ]