YANGON (Panjimas.com) – Setidaknya 87.000 Muslim Rohingya terpaksa mengungsi sejak militer Myanmar melancarkan tindakan kekerasan di negara bagian Rakhine awal Oktober tahun lalu, demikian pernyataan PBB, Senin (23/01), seperti dilansir Anadolu.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) menyebutkan dalam laporan mingguannya bahwa setidaknya 21.000 orang diperkirakan akan mengungsi di bagian utara negara bagian Rakhine sebagai akibat dari serangan 9 Oktober dan operasi militer.
“Jumlah ini di samping, terdapat sekitar 66.000 orang yang diperkirakan telah menyeberang ke Bangladesh,” kata Badan PBB, UNOCHA itu.
“Meskipun kegiatan kemanusiaan dapat terlaksana di beberapa daerah di Rakhine utara, Pemerintah Myanmar masih belum mengizinkan staf internasional untuk melakukan perjalanan di luar pusat-pusat kamp utama,” imbuhnya.
Sejak 9 Oktober, Badan-Badan Bantuan Internasional dan para wartawan independen telah ditolak aksesnya memasuki daerah-daerah dimana Muslim Rohingya tinggal.
Setidaknya 104 jiwa tewas – termasuk 17 polisi dan tentara, 11 pria Muslim yang bekerja sama dengan pemerintah daerah dan 76 diduga “penyerang”, dan itu termasuk 6 korban lainnya yang dilaporkan meninggal dunia selama proses interogasi, selain itu lebih dari 600 Rohingya ditangkap.
Namun, kelompok advokasi Rohingya meyakini bahwa sekitar 400 Muslim Rohingya tewas dibunuh dalam operasi militer Myanmar, wanita-wanita Rohingya diperkosa dan lebih dari 1.000 rumah di desa-desa Muslim Rohingya dibakar.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Selama dua bulan terakhir, situasi di Rakhine telah menjadi kondisi paling mematikan di negara itu, sejak kerusuhan antara umat Buddha dan umat Muslim yang menewaskan lebih dari 100 jiwa pada tahun 2012, sebagian besar dari korban adalah Muslim Rohingya.
Sekitar 100.000 Muslim Rohingya kini masih berada dalam keterbatasan dan hidup di kamp-kamp pengungsian kumuh di mana mereka ditolak akses gerakan, pendidikan dan kesehatannya.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi.
Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar?. [IZ]