JAKARTA (Panjimas.com) – “Kalau memang Fatwa MUI mengganggu stabilitas negara, mohon maaf kenapa yang di Pulau Seribu tidak diatasi?”
Hal itu ditegaskan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin di Kantor MUI, Jakarta, seperti dilansir Tribunnews, Rabu (18/1/2017).
Peristiwa pulau seribu yang dimaksud Din Syamsuddin adalah saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok masih menjabat Gubernur Jakarta memberikan pidato di depan warga Pulau Seribu.
Saat itu, diduga muncul ucapan Ahok yang diduga menistakan agama dan berlanjut hingga sekarang ke proses hukum.
Din Syamsuddin mengatakan bahwa sumber masalah sebenarnya adalah pada peristiwa Pulau Seribu.
“Sumber masalahnya yang intoleran, yang anti-kebhinekaan ya yang ada di Pulau Seribu itu. Anti-kemajemukan dan menyinggung perasaan itu yang membuat instabilitas,” kata dia .
Sementara MUI sebagai organisasi Islam, kata dia, memberikan pandangan dengan mengeluarkan Fatwa yang diminta oleh Polri agar dapat ditetapkan status hukumnya.
“Sehingga tidak benar jika Fatwa MUI dikatakan sebagai sumber instabilitas negara,” tegasnya.
Untuk diketahui, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menilai, fatwa Majelis Ulama Indonesia memiliki pengaruh cukup besar pada kehidupan bernegara.
Namun, menurut Tito, belakangan ada fatwa yang menimbulkan gejolak stabilitas keamanan.
“Menarik belakangan ini ketika fatwa MUI punya implikasi luas dan dapat menimbulkan dampak terhadap stabilitas gangguan kamtibnas,” ujar Tito dalam diskusi bertajuk “Fatwa MUI dan Hukum Positif” di PTIK, Jakarta, seperti dilansir Kompas, Selasa (17/1/2017).
Fatwa tersebut, kata Tito, memengaruhi sistem hukum di Indonesia. Ia menyebut fatwa larangan untuk menggunakan atribut Natal bagi karyawan beragama Islam.
Kemudian, ada juga sikap MUI soal dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. [AW/Trb, kps]