NAYPYIDAW (Panjimas.com) – Pihak berwenang Myanmar telah menahan 4 petugas polisi sehubungan dengan serangan penyiksaan pasukan keamanan Myanmar di desa Muslim Rohingya yang menjadi viral baru-baru ini, seperti dilansir IINA.
Seorang perwira senior polisi di ibukota Naypyidaw mengatakan 4 polisi ditahan pada hari Senin (02/01/2017) setelah rekaman video muncul menunjukkan penyiksaan Polisi Penjaga Perbatasan Myanmar (BGP) secara brutal terhadap sejumlah warga sipil Rohingya, saat mengumpulkan puluhan Muslim Rohingya dalam operasi penyerbuan di negara bagian Rakhine.
Insiden penyiksaan dan penghinaan kaum Muslim Rohingya terjadi di desa KoeTanKauk di Rathedaung Township pada 5 November 2016, selama 2 hari pengepungan desa Muslim itu oleh pasukan gabungan dari Polisi Pengawal Perbatasan dan militer Myanmar.
Rekaman video itu jelas menunjukkan polisi perbatasan dan militer meninju, menendang, memukul, dan mempermalukan, bahkan menghinakan ras paling tidak 60 Muslim Rohingya yang merupakan warga sipil tak berdosa.
Perwira Polisi itu menolak memberikan identifikasi keempat Polisi yang ditahan karena ia tidak berwenang berbicara kepada media.
Rekaman video yang diunggah Arakan News itu, mengungkap pemandangan langka ke dalam wilayah yang diblokade militer itu sejak Oktober, sehingga mendorong kelompok hak asasi dan para aktivis HAM untuk mengambil tindakan terhadap pelaku, demikian menurut laporan media.
Publikasi rekaman video mengejutkan ini datang, sementara pemerintah Myanmar terus menyangkal keterlibatan aparat keamanan dalam setiap pelanggaran terhadap minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine, yang mana Komite Fakta, yang dibentuk oleh pemerintah, mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa “media internasional telah menerbitkan berita palsu tentang penganiayaan Rohingya “.
Sebelumnya pada hari Senin (02/01), pemerintah Myanmar berjanji untuk mengambil tindakan terhadap polisi, meskipun puluhan video telah menunjukkan dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyiksaan terhadap Muslim Rohingya yang muncul dalam beberapa bulan terakhir.
Kekerasan di negara bagian Rakhine baru-baru ini menuai kecaman keras internasional terhadap pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, dirinya dianggap kurang proaktif dalam membantu anggota minoritas Muslim Rohingya, yang ditolak kewarganegaraannya di Myanmar yang didominasi umat Buddha itu.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar ?.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sekitar 100.000 Muslim Rohingya kini masih berada dalam keterbatasan dan hidup di kamp-kamp pengungsian kumuh di mana mereka ditolak akses gerakan, pendidikan dan kesehatannya.[IZ]