XINJIANG, CHINA (Panjimas.com) – Kepolisian China baru-baru ini dilaporkan telah menembak mati 3 orang tersangka yang terlibat dalam serangan terhadap sebuah kompleks pemerintah di wilayah Xinjiang bagian barat laut, China, yang sebelumnya menewaskan 2 korban jiwa, demikian menurut media pemerintah Beijing.
Seperti dilansir Xinhua News, Kementerian Keamanan Publik China pada hari Kamis (29/12) mengatakan bahwa 3 pelaku dengan mengendarai mobil memasuki kompleks “Komite Moyu County” Partai Komunis Cina pada Rabu sore (28/12).
Ketiga tersangka dilaporkan menyerang para pekerja dengan pisau dan memicu bahan peledak, sehingga menewaskan seorang pejabat dan seorang petugas keamanan, sementara 3 korban lainnya mengalami luka-luka.
Kementerian Keamanan Publik mengatakan para tersangka ditembak mati dan pihak berwenang sedang menyelidiki kasus ini.
Xinhua News mengutip pemerintah daerah Xinjiang, sebelumnya mengumumkan bahwa 1 orang tewas dalam serangan itu dan polisi menembak mati 4 tersangka. Tiga orang lainnya dilaporkan terluka.
Hingga kini, belum ada rincian lebih lanjut terkait serangan ini, tetapi pemerintah daerah mengatakan tatanan sosial di Moyu – yang juga dikenal sebagai “Karakax”, saat ini tetap “stabil”.
Xinjiang Uighur Autonomous Region (Daerah Otonomi Uighur Xinjiang) merupakan rumah bagi sejumlah kelompok etnis termasuk Uighur.
Etnis Uighur merupakan kelompok minoritas Muslim yang berbahasa Turki dengan jumlah 45 persen dari total populasi di Xinjiang.
Kelompok minoritas Muslim telah lama menuduh pemerintah membatasi hak-hak budaya dan agama mereka.
Kelompok-kelompok HAM internasional menuding pihak berwenang China telah memberlakukan aturan yang berat sebelah di wilayah Xinjiang, termasuk serangan penyerbuan dan tindak kekerasan oleh polisi China terhadap rumah-rumah Muslim Uighur. Bahkan kebijakan pembatasan bagi Muslim untuk mempraktian ajaran Islam, dan pembatasan pada ekspresi budaya Muslim Uighhur serta bahasa asli dari etnis Uighur.
Sementara di sisi lain, para ahli di luar Cina mengatakan bahwa pihak Beijing telah membesar-besarkan ancaman dari muslim Uighur, dan bahwa kebijakan-kebijakan domestik tersebut bertanggung jawab atas meningkatnya kekerasan yang telah menewaskan ratusan orang sejak tahun 2012.
Label Terorisme Palsu Bagi Etnis Uighur
Beijing menuduh bahwa pejuang Muslim Uighur mirip seperti Gerakan Islam Turkistan yang berada di balik serangan di Xinjiang, yang diklaim pihak Beijing telah menimbulkan gelombang kerusuhan yang mematikan.
Namun para pakar dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok itu dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakukan pembenaran atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam itu.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa tindakan keras pemerintah Beijing malah menjadi pemicu kekerasan.
Beijing menganggap kecaman dari pemerintah-pemerintah asing terhadap serangan di Xinjiang tidak berdasar, dan malah balik menuding Negara-negara Barat menerapkan “standar ganda”.
“Memerangi Gerakan Islam Turkistan Timur, Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM), kelompok teror yang ada dalam daftar PBB, dan kelompok teroris lainnya merupakan komponen penting dari perjuangan melawan terorisme internasional,” tegas Menlu China, Wang Yi, akhir tahun lalu saat mengomentari penembakan mati 28 Muslim Uighur.
China cenderung untuk melabeli “teroris” untuk semua serangan yang melibatkan Muslim Uighur, walaupun faktanya pemerintah Xinjiang masih sering menindas Muslim Uighur.
Beijing telah menuduh mereka sebagai dalang atas semua serangan teror di kawasan publik Cina.
Seperti diberitakan sebelumnya, para pakar keamanan dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok Uighur dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakuka pembenara atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilaya yang kaya akan sumber daya alam itu.
Beijing terus berusaha menghubung-hubungkan Uighur dengan kelompok Taliban dan ISIS.
Undang-Undang Keamanan Nasional China yang diadopsi pada bulan Juli mengharuskan semua kunci infrastruktur jaringan dan sistem informasi agar “aman dan terkendali”.
Mengutip Reuters, UU anti-terorisme juga memungkinkan Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army) untuk terlibat dalam operasi anti-terorisme di luar negeri, meskipun para ahli mengatakan China akan menghadapi masalah-masalah praktis dan diplomatik besar jika ingin melakukan hal ini.
Weixing, Kepala Divisi Kontra-terorisme Departemen Keamanan Publik, mengatakan China menghadapi ancaman serius dari teroris, terutama pasukan ”Turkestan Timur”, istilah umum China untuk para Islamis itu, yang diklaim pihak Beijing beroperasi di wilayah Xinjiang.
Kelompok-kelompok HAM, meskipun, meragukan keberadaan kelompok militan kohesif di Xinjiang, dan mengatakan bahwa kerusuhan sebagian besar berasal dari kemarahan di kalangan orang-orang Muslim Uighur di wilayah ini lebih dikarenakan pembatasan agama dan budaya mereka.
Undang-undang baru ini juga membatasi hak media untuk melaporkan rincian serangan teror, termasuk ketentuan bahwa media cetak, elektronik, media online dan media sosial tidak dapat melaporkan rincian kegiatan terror yang mungkin menyebabkan imitasi, atau menunjukkan adegan yang “kejam” dan tidak manusiawi. [IZ]