WASHINGTON, AS (Panjimas.com) – Council on American-Islamic Relations (CAIR), Dewan Hubungan Islam-Amerika baru-baru ini menyerukan pemerintah negara bagian Maine dan pihak penegak hukum federal untuk menyelidiki motif bias dari serangan vandalisme yang menargetkan pasar halal di kota Portland, wilayah negara bagian Maine, Amerika Serikat (AS).
Kepolisian Portland mengatakan seorang pria kulit putih yang mengenakan pakaian dengan tudung menghancurkan 6 jendela besar di Pasar Halal Ahram pada hari Sabtu (24/12), mengutip laporan International Islamic News Agency (IINA).
Tidak ada bukti dari aksi penghancuran ini. Serangan vandalisme di pasar Halal Ahram saat ini sedang diselidiki dan ini diperparah dengan kerusakan kriminal.
“Mengingat lonjakan terbaru dalam insiden serangan anti-Muslim nasional di AS, tentu akan lebih bijaksana untuk menyelidiki motif bias yang mungkin terkait vandalisme ini,” kata Direktur Komunikasi Nasional CAIR, Ibrahim Hooper.
Hooper mengatakan CAIR telah mencatat lonjakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam insiden kebencian yang menargetkan Muslim AS dan kelompok minoritas lainnya sejak pemilu 8 November lalu.
CAIR adalah organisasi advokasi dan kebebasan sipil Muslim terbesar di Amerika. Misi CAIR adalah untuk meningkatkan pemahaman Islam, mendorong dialog, melindungi kebebasan sipil, memberdayakan Muslim Amerika, dan membangun koalisi yang mempromosikan keadilan dan rasa saling pengertian.
Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) juga mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya telah melihat lompatan tajam dalam insiden anti-Muslim secara nasional tahun lalu.
“Kenaikan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, ditengah kefanatikan dari semua jenis, haruslah ditolak dalam istilah terkuat oleh semua pemimpin bangsa kita, dimulai dengan Presiden terpilih Donald Trump,” tegas Direktur CAIR Urusan Pemerintahan Robert McCaw.
Pada beberapa kesempatan selama siklus pemilu, Trump telah menargetkan Muslim, yang paling kontroversial ketika Trump menyerukan larangan masuk AS bagi Muslim. Sementara itu tidak diketahui, jika kebijakan pelarangan Muslim itu benar-benar akan berlaku setelah ia resmi mengambil sumpah Presiden AS pada bulan Januari mendatang.
Sementara itu, berdasarkan laporan FBI yang dirilis pertengahan November lalu, kejahatan kebencian yang menargetkan umat Muslim di AS telah melonjak hingga 67 persen tahun lalu.
Kenaikan tersebut merupakan bagian dari kenaikan 7 persen secara keseluruhan dalam kejahatan kebencian di AS tahun lalu.
Dari 7.121 korban yang diidentifikasi dalam laporan tersebut, hampir 20 persen menjadi sasaran karena alasan agamanya, pungkas FBI dalam laporan tahunannya.
Dalih kebencian Agama, adalah motivasi paling tinggi kedua dari para pelaku kejahatan kebencian, selain karena alasan ras atau etnis.
Serangan kejahatan kebencian anti-Islam merupakan yang tertinggi kedua sebanyak 22 persen dari total, diatasnya adalah anti-Yahudi yang menyumbang lebih dari setengah, ini juga membuat Yahudi mejadi kelompok yang paling ditargetkan di AS.
Temuan ini juga mencatat keluhan dari masyarakat Muslim-Amerika bahwa Muslim AS telah mengalami peningkatan dramatis dalam hal jumlah serangan-serangan Islamofobia.
Secara total pada tahun 2015 saja tercatat 257 insiden anti-Muslim yang menargetkan 307 Muslim, menurut FBI.
Itu adalah angka tertinggi sejak insiden 11 September 2001.
Berbeda dengan FBI, Surat Kabar terkemuka AS, Huffington Post telah mencatat sekitar 233 insiden Islamophobia terjadi hanya pada tahun 2016, jumlah insiden anti-muslim ini meningkat lebih dari 32 persen dari tahun lalu.
Lebih lanjut Huffington Post mencatat bahwa laju serangan Anti-Islam tersebut terus meningkat, terutama setelah serangan mematikan di Paris, San Bernardino dan Florida.
Proyek Islamophobia Huffington Post, telah melacak insiden anti-Muslim di Amerika Serikat, dan tercatat insiden Islamophobia mencapai angka 233 insiden pada tahun 2016 saja.
Huffington Post juga mencatat sejumlah retorika anti-Muslim, termasuk komentar-komentar anti-Islam para pejabat AS, Ketua kelompok sayap kanan dan beberapa tokoh masyarakat di Amerika Serikat, serta merekam sejumlah kasus diskriminasi rasial, termasuk pengusiran paksa dari penerbangan, penghentian kerja, dan pembatasan praktek ibadah.
Laporan serangan anti-Islam terus meningkat mengenai serangan kejahatan kebencian di seluruh negeri.
Southern Poverty Law Center, organisasi non-profit yang memerangi kejahatan kebencian, mengatakan telah melacak 315 kasus “pelecehan kebencian dan intimidasi” sejak hari pemilihan saja. [IZ]