MOSKOW, (Panjimas.com) – Pasukan khusus Rusia dilaporkan telah menembak mati 7 pejuang Muslim Chechnya di wilayah bagian selatan Rusia pasca serangan terhadap petugas polisi pada malam sebelumnya, menurut laporan media-media Rusia pada hari Ahad (18/12) lalu, seperti dilansir Reuters.
Pemerintahan Moskow sejauh ini telah terlibat dalam 2 peperangan dengan kelompok Muslim Chechnya sejak periode runtuhnya Soviet, pada 1991.
Baku tembak semacam itu jarang terjadi di wilayah Chechnya, akan tetapi situasi di wilayah Kaukasus Utara yang kini memburuk dengan meningkatnya pengangguran dan korupsi yang merajalela, telah mendorong beberapa pemuda Muslim untuk mengangkat senjata melakukan perlawanan.
Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov menyatakan bahwa 7 gerilyawan telah tewas ditembak mati dalam operasi khusus di tepian Grozny, ibukota Chechnya. Selanjutnya 4 gerilyawan Chechnya lainnya telah ditahan, 3 di antaranya dilaporkan dalam kondisi luka-luka, pungkasnya.
Media Rusia melaporkan sebelumnya bahwa para gerilyawan Muslim Chechnya telah menyerang seorang polisi pada Sabtu malam (17/12), menyita mobilnya, dan menabrak petugas polisi lain yang berusaha menghentikan kendaraan itu.
Interfax News Agency mengklaim bahwa telah menembaki polisi saat kedua pihak berhadapan pada hari Ahad (18/12).
Seorang petugas polisi tewas dalam baku tembak tersebut, demikian menurut laporan TASS News dan saluran Televisi Rusia, “Rossiya-24”.
Akar Konflik Muslim Chechnya-Rusia
Konflik Muslim Chechnya dengan Rusia telah berlangsung lama dan berkepanjangan sehingga penting untuk dipahami akar sejarahnya. Teror Rusia di Chechnya ini pun memiliki catatan sejarahnya tersendiri, yang menjelaskan mengapa benih kebencian begitu mendalam di antara orang-orang Chechnya dan Rusia.
Sebagaimana diketahui, Chechnya ditaklukkan pada abad ke-19 oleh Kekaisaran Rusia setelah konflik berkepanjangan. Muslim Chechnya menolak keras invasi Rusia di wilayahnya, pemimpin Chechnya saat itu adalah Imam Shamil, Ia merupakan seorang Muslim Chechnya tulen, dijuluki sebagai pahlawan legendaris, yang menyerukan kepemimpinan untuk perang jihad. Rusia kemudian membunuh Imam Shamil, kemudian menguasai seluruh wilayah Chechnya di bawah kendalinya, dikutip dari Era Muslim.
Invasi Rusia dan pembunuhan keji pemimpin Muslim Chechnya Imam Shamil ini merupakan adalah salah satu alasan historis Muslim Chechnya mengangkat senjata memerangi Rusia.
Sementara itu faktor lainnya adalah penindasan brutal Rusia atas gerakan kemerdekaan Muslim Chechnya pada masa revolusi Bolshevik 1917.
Faktor selanjutnya adalah pada saat Chechnya berpihak dan bersimpati pada Jerman selama Perang Dunia II, Namun jerman akhirnya kalah, setelah itu, pemimpin Rusia Josef Stalin, pada tahun 1944 mengusir lebih dari 1 juta warga Muslim Chechnya dan mengirim mereka ke dalam pembuangan di Asia Tengah dan Siberia, wilayah yang sangat dingin. Pada saat itu, tercatat hampir 100.000 warga muslim Chechnya meninggal selama evakuasi pengusiran massal Stalin. Barulah pada akhir 1950-an Muslim Chechnya diizinkan untuk kembali ke daerah asalnya.
Saat Uni Soviet runtuh pada tahun 1992, para pemimpin muslim Chechnya melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk mendeklarasikan kemerdekaan mereka.
Pertimbangan ini juga karena 15 Republik lainnya yang berada di bawah payung Uni Republik Sosialis Soviet (USSR) selama setengah abad sejak Perang Dingin (Cold War) berusaha memerdekakan wilayhnya dengan cara-cara mereka sendiri – salah satunya dengan menggerakkan demonstrasi. Rusia pun melakukan persetujuan kemerdekaan Negara-Negara tersebut. Namun pada tahun 1993, ketika Muslim Chechnya juga menginginkan kemerdekaan, Rusia berbeda penyikapan, Rusia mengirimkan pasukan dan tank-tank untuk menghancurkan pemberontakan yang dipimpin oleh Presiden Chechnya yaitu Dzhokhar Dudayev.
Rusia menolak Muslim Chechnya diberikan kemerdekaan karena beberapa alasan. Yang pertama Chechnya adalah negeri mayoritas berpenduduk muslim. Selain itu, alasan lainnya jika Chechnya diberikan kemerdekaan, Rusia merasa Republik kecil lainnya, seperti Dagestan dan Ingushetia (juga mayoritas muslim di kedua daerah tersebut) , yang merupakan bagian dari Federasi Rusia juga ingin memisahkan diri. Di sisi lain, jikalau kemerdekaan diberikan, Rusia akan kehilangan pendapatan karena wilayah Chechnya disamping penghasil minyak, juga merupakan akses transportasi dan fasilitas untuk mendistribusikan minyak ke Laut Kaspia dari Azerbaijan ke tujuan wilayah Benua Eropa melalui pipa-pipa strategis di seluruh Chechnya.
Lebih lanjut, wilayah Chechnya berbatasan dengan Georgia yang dalam tinjauan geo-politik penting, dimana Georgia disokong Amerika Serikat. Oleh sebab itu, Rusia ingin mempertahankan Chechnya di bawah kendalinya agar pengaruh Amerika tidak masuk lebih dalam ke wilayah Rusia lainnya.
Perang Chechnya dengan Rusia awalnya berlangsung selama 2 tahun, berakhir dengan bencana besar dengan ribuan militer Rusia terbunuh. Moskow dipaksa untuk menegosiasikan gencatan senjata. Pasukan Rusia kembali ke Chechnya pada tahun 1999, Perdana Menteri Vladimir Putin saat itu bersumpah untuk menghancurkan pemberontakan selamanya. Militer Rusia kemudian melakukan pengeboman di Grozny yang berdampak begitu parah dan tragis, sehingga pada masa itu PBB menyebut ibukota Chechnya sebagai “kota paling hancur di planet ini”.
Letupan-letupan konflik terus berlangsung dengan intensitas yang berbeda sejak 1993 hingga masa sekarang.[IZ]