BANGKOK, (Panjimas.com) – 4 petugas polisi patroli perbatasan kini dirawat intensif di wilayah berpenduduk mayoritas Muslim di Thailand selatan pada Senin (09/12), ketika sebuah bom yang dikendalikan dari jarak jauh meledak di dekat kendaraan mereka.
Sersan Polisi Adinant Modjot, wakil penyidik di sebuah kantor polisi di Narathiwat, salah satu dari 3 provinsi yang dilanda pertikaian selama puluhan tahun, mengatakan bahwa para pejuang muslim berada di balik serangan itu.
“Alat pengontrol jarak jauh dipendam di sisi jalanan di Distrik Sungai Kolok. Bom meledak ketika kendaraan pick-up dari tim polisi patroli perbatasan itu lewat,” katanya melalui sambungan telepon kepada Anadolu.
“4 dari mereka terluka dan segera dilarikan ke Rumah Sakit. Kami menganggap para pejuang muslim bertanggung jawab.”
Serangan Senin (09/12) itu diikuti dengan serangkaian insiden kekerasan selama beberapa minggu terakhir di 3 provinsi selatan Thailand yang mayoritas berpenduduk Muslim yakni Yala, Narathiwat dan Pattani, meliputi pembunuhan 26 November terhadap seorang wanita hamil delapan bulan.
Sebuah rilis terbaru dari organisasi independen Deep South Watch, yang memonitor kekerasan, bagaimanapun, menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kekerasan selama 10 tahun terakhir
Hingga akhir Oktober 2016, tercatat 564 insiden kekerasan terjadi, termasuk 227 kematian akibat serangan, sementara itu pada tahun 2015, terdapat total 673 insiden kekerasan dengan 246 kematian, dan pada tahun 2014, dimana 806 insiden kekerasan terjadi yang menewaskan 341 jiwa.
Tahun paling berdarah selama 12 tahun terakhir adalah pada 2005 dengan 2.174 insiden kekerasan dan 601 kematian.
Pemberontakan selatan di tiga provinsi paling selatan Pattani, Yala dan Narathiwat selama beberapa dekade membuat situasi tak stabil, pemnberontakan selatan ini berakar dari konflik etnis budaya berabad-abad lamanya antara Muslim Melayu yang tinggal di daerah itu dengan pemerintah pusat Thailand yang mana secara de facto Buddhisme dianggap sebagai agama nasional .
kelompok bersenjata Muslim dibentuk pada tahun 1960 setelah Rezim Diktator Militer mencoba mengganggu dan mencampuri sekolah-sekolah Islam, namun pemberontakan memudar pada 1990-an.
Pada tahun 2004, sebuah gerakan bersenjata dihidupkan kembali, terdiri dari banyak sel-sel pejuang lokal yang dikelompokkan dalam “National Revolutionary Front”, atau BRN.
Setelah Militer Thailand kembali merebut kekuasaan pada Mei 2014, junta militer terus berupaya menggulingkan pemerintah sipil terpilih dan militer seringkali menggagalkan upaya pembicaraan damai dengan kelompok Muslim.
Sebuah laporan baru-baru ini tentang situasi wilayah Selatan Thailand dirilis oleh “International Crisis Group”, sebuah kelompok pemikir yang berbasis di Brussels, yang menyebutkan bahwa pembicaraan telah “kandas” karena kedua belah pihak, lebih memilih permusuhan daripada kompromi.
“Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban [NCPO], yang merebut kekuasaan dengan kudeta militer tahun 2014, mengaku mendukung dialog untuk mengakhiri pemberontakan tapi menghindari komitmen,” kata laporan International Crisis Group, NCPO dengan sebutan Dewan Nasional ini mengacu pada nama resmi rezim junta yang berkuasa di Thailand.[IZ]