JAKARTA, (Panjimas.com) – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto menjelaskan buruknya tata kelola keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat dipimpin Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Dilansir viva. Dalam paparan peringatan hari antikorupsi di posko pemenangan Anies-Sandi, Bambang mengatakan, ada sejumlah kejanggalan dari data laporan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2015 dan 2016 yang dianggap bisa merugikan negara.
Dari catatan laporan keuangan Pemprov DKI per 31 Desember 2015, Bambang menyebutkan, saldo aset terakhir senilai Rp363,58 triliun pada neraca. Namun Bambang mengungkap hal yang janggal yakni pengelolaan aset itu tak memadai, lantaran tak melalui siklus akuntansi yang baik.
“Tidak menggunakan sistem informasi akuntansi sehingga berisiko salah saji,” ujar Bambang di posko pemenangan Anies-Sandi, Jalan Cicurug No.6, Jakarta Pusat, Jumat 9 Desember 2016.
Selain itu, berdasarkan data yang ia miliki, Bambang juga mencatat BPK menemukan 15 temuan senilai Rp374 miliar, yang terdiri dari indikasi kerugian daerah senilai Rp41 miliar. Hal ini menjadi kekurangan penerimaan daerah senilai Rp5,8 miliar dan administrasi sejumlah Rp327 miliar.
“Jadi saya ingin mengatakan apanya yang tidak koruptif. Laporan ini menyatakan cukup banyak masalah koruptif di pemerintahan sebelumnya atau yang sekarang berjalan,” ujar Bambang yang menjabat dewan pakar tim Anies-Sandi itu.
Pria yang akrab disapa BW itu menjelaskan, dalam resume hasil pemeriksaan dari sistem pengendalian intern BPK, tercatat ada sejumlah hal yang disorot dari Pemprov DKI Jakarta. Salah satunya terkait aset di Dinas Pendidikan senilai Rp15 triliun yang tidak dapat diyakini kewajarannya.
Bambang juga mengungkapkan, ketidakpatuhan dari para pengembang yang telah memiliki Surat izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari pemerintah. Pengembang masih menunggak untuk membangun membangun fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos), padahal hal itu merupakan kewajiban swasta ketika mendapatkan hak penggunaan tanah yang dimiliki oleh negara.
“Pemprov DKI belum melakukan penagihan secara memadai atas kewajiban penyerahan fasos fasum oleh 1.370 pemegang SIPPT berupa tanah seluas 16,84 juta meter persegi,” kata Pria yang berprofesi pengacara itu.
Bambang bahkan menuding, terlihat Pemprov DKI saat dipimpin Ahok itu terkesan sengaja memperlambat penyerapan anggaran. Bambang menganggap pemerintah berlaku tak adil ketika ada swasta melanggar aturan dikenakan denda yang dianggap tak jelas transparansinya. Parahnya, ketidakterbukaan itu malah disampaikan kepada publik.
“Orang boleh melanggar KLB (Koefisien Lantai Bangunan) tapi boleh membayar denda. Artinya gini kesalahan ini dijadikan justifikasi asal membayar uang. Ini lah tindakan koruptif gaya baru yang belum bisa disentuh oleh hukum. Dan ini berbahaya bagi kepentingan kemaslahatan karena kita tidak tahu hengki-pengki di seputar itu,” jelas Bambang. [RN]