JAKARTA, (Panjimas.com) – Presiden Joko Widodo mengutarakan pemikirannya tentang persepsi nilai tukar rupiah yang selama ini masih mengacu kepada dolar Amerika Serikat (AS). Jokowi menilai, dengan adanya dinamika politik pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, berimbas pada melemahnya seluruh mata uang dunia, tak terkecuali rupiah.
Dilansir republika, Jokowi menjelaskan, kurs dolar AS sudah tidak lagi mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Artinya, nilai tukar dolar AS mengarah pada pencerminan kebijakan situasi pasar di dalam negeri AS. Kondisi ini akan menuntun kepada menguatnya dolar AS dibanding nyaris seluruh mata uang utama dunia. Menurut Jokowi, fenomena ekonomi dunia ini tidak menguntungkan Indonesia. Ia meminta, persepsi nilai tukar rupiah tak lagi mengacu kepada dolar AS, tetapi kepada mata uang negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti Cina, Jepang, atau Eropa.
“Kurs dolar semakin tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Semakin mencerminkan kebijakan ekonomi AS, jalan sendiri. Jangan dibawa persepsi dolar AS,” ujar Jokowi dalam Sarasehan 100 Ekonom di Fairmont, Jakarta, Selasa (6/12).
Apalagi, kata Jokowi, ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang porsi 10-11 persen dari total ekspor Indonesia. Angka ini lebih kecil dibanding porsi ekspor ke Cina sebesar 15,5 persen, Eropa dengan porsi 11,4 persen, dan Jepang 10,7 persen. Jokowi mengungkapkan, pemerintah menghindari pengaruh penguatan dolar AS terlalu memberikan pengaruh atas persepsi ekonomi.
“Kalau diukur dengan dolar (AS), kita akan terlihat jelek. Padahal ekonomi kita oke-oke saja,” ujar Jokowi.
Kondisi sebaliknya terjadi bila nilai tukar rupiah diukur terhadap euro, reminbi Cina, atau yen Jepang. Jokowi menilai, rupiah terlihat lebih perkasa bila dipersepsikan dengan mata uang tersebut. Ia menekankan, pandangan soal nilai tukar yang tak lagi mengacu pada dolar AS ini terbilang penting untuk edukasi masyarakat, agar masyarakat dan pasar tak lagi memantau sebatas dolar AS saja.
“Kurs rupiah dan dolar (AS) bukan lagi tolok ukur yang tepat. Yang relevan adalah kurs rupiah melawan kurs mitra dagang kita, mitra terbesar kita Tiongkok,” katanya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menambahkan, keinginan Presiden untuk menahan persepsi rupiah terhadap dolar AS bukan berarti mengganti acuan yang selama ini sudah terbentuk. Hanya saja, opsi ini masuk ke depan kajian pemerintah di mana acuan persepsi nilai tukar akan mengacu kepada negara-negara mitra dagang.
“Presiden kan tidak bilang ditukar. Presiden bilang dipelajari kalau relevan. Bukan berarti ditukar. Artinya, kurs mata uang kita dengan Cina mestinya memang berdasarkan transaksi ekonomi kita dengan Cina, baik ekspor atau impor,” ujar Darmin.
Darmin mengingatkan, meski secara porsi ekspor Indonesia ke AS terbilang lebih kecil dibanding ekspor Indonesia ke Cina, tetapi kondisinya ekspor Indonesia ke AS masih surplus. Hal ini berbeda dengan ekspor Indonesia ke Cina yang trennya menunjukkan ke arah defisit.
Ia menambahkan, pernyataan Jokowi memiliki makna yang lebih dalam di mana pemerintah harus meyakinkan pasar bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja, terlebih kepada mitra dagang utama Indonesia termasuk Cina, Jepang, dan Eropa. “Artinya kurs suatu negara dengan negara lain ditentukan betul oleh nilai perdagangannya,” katanya. [RN]