BANGKOK, (Panjimas.com) – Sekitar 200 Muslim Thailand berkumpul di depan Kedutaan Besar Myanmar di pusat kota Bangkok pada hari Jumat (25/11) untuk memprotes tindakan kekerasan rezim Myanmar terhadap Muslim Rohingya di Rakhine..
Ratusan massa Muslim berteriak menyuarakan dukungan-dukungan mereka untuk Muslim Rohingya, sementara sebagian lainnya mengenakan kaos-kaos bertuliskan slogan-slogan yang menyerukan tindakan-tindakan segera penyeleseian di Rakhine, dimana sekitar 86 sampai 500 orang telah meninggal dunia akibat operasi militer Myanmar, pasca serangan di 3 pos perbatasan bulan lalu.
“Kami menuntut mereka [Militer Myanmar] berhenti membunuhi saudara-saudara kami di Myanmar,” tegas Sekretaris jenderal Grup Rohingya Thailand kepada Anadolu Agency.
“Hentikan genosida sekarang juga!” tuntut Haji Ismail.
Banyak dari masssa Muslim yang mengambil bagian dalam aksi solidaritas Rohingya itu dengan mengenakan tulisan-tulisan Thailand dengan angka 9, mengingat baru saja Raja Bhumibol Adulyadej, Raja ke-9 Thailand dari Dinasti Chakri meninggal dunia.
Peristiwa serupa juga terjadi di depan Kedutaan Myanmar di Jakarta dan Kuala Lumpur, Jumat (25/11). Ribuan massa Muslim di Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur menuntut penghentian genosida, dan menyuarakan solidaritasnya atas Muslim Rohingya.
Selama 6 minggu terakhir, kelompok HAM Internasional menyatakan keprihatinan mendalamnya atas laporan-laporan pembunuhan, pemerkosaan, penangkapan sewenang-wenang dan pelanggaran-pelanggaran lainnya di desa-desa Muslim terutama yang mayoritas dihuni oleh Rohingya di Rakhine terutama pasaca operasi militer diberlakukan menyusul serangan 9 Oktober.
Organisasi HAM Internasional terus menyerukan penyelidikan independen terhadap serangan awal 9 oktober dan operasi militer yang sedang berlangsung serta pelanggaran-pelanggaran hak asasi yang dilaporkan di Rakhine.
Sejak 9 Oktober, Myanmar telah menyatakan bahwa setidaknya 86 orang tewas, termasuk 17 tentara dan 69 Muslim Rohingya (di antara korban itu terdapat 2 perempuan) dan ribuan bangunan dibakar dan dihancurkan Pasukan rezim di desa-desa Muslim di Rakhine.
Berbeda dengan klaim pemerintah,Sejak Sabtu (12/11), Menurut pengacara dari Arakan Rohingya National Organization, sedikitnya 150 Muslim Rohingya tewas di wilayah barat negara bagian Rakhine sejak Sabtu (12/11).
Pemerintah Myanmar telah membantah laporan-laporan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine, mengklaim bahwa militer sedang melakukan “operasi pembersihan” yang menargetkan diduga “penyerang pos penjaga perbatasan” yang menewaskan 9 polisi pada tanggal 9 Oktober, menurut media pemerintah.
Sejak itu, media pemerintah mengatakan lebih dari 100 orang telah tewas, dan sekitar 600 lainnya telah ditangkap.
Sebuah laporan Human Rights Watch baru-baru ini menunjukkan gambar-gambar satelit, dimana 1.250 rumah Muslim Rohingya dibakar oleh pihak berwenang Myanmar, laporan HRW ini ditolak pemerintah, lantas menyebut bahwa “penyerang” dari dari desa-desa Rohingya lah yang melakukan pembakaran.
“Gambar-gambar satelit terbaru ini sangat mengkhawatirkan dan mengkonfirmasi bahwa kehancuran di desa-desa Muslim Rohingya jauh lebih besar dan ternyata ada di lebih banyak tempat dari yang pemerintah akui,” kata Brad Adams, Direktur Human Rights Watch Kawasan Asia.
“Serangan-serangan pembakaran jelas-jelas dilakukan terhadap 5 desa Muslim Rohingya, ini adalah masalah keprihatinan dimana pemerintah Myanmar perlu menyelidiki dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab.”
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam pemerintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kementrian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
“Myanmar harus mengikuti hukum internasional dan menghormati hak asasi manusia, dan mereka tidak melakukan itu sekarang, dan tampaknya bahwa pemerintah yang dipilih secara demokratis tidak memiliki kontrol atas militer,” kata John McKissick, pejabat UNHCR. [IZ]