YANGOON, (Panjimas.com) – Ribuan Muslim Rohingya mencoba untuk melarikan diri ke Bangladesh pasca maraknya laporan-laporan pelecehan seksual oleh tentara Myanmar, serta pembakaran dan penghancuran 820 rumah-rumah mereka di 5 desa Muslim di Rakhine.
“Pihak berwenang Myanmar sedang berupaya melakukan kampanye “pembersihan etnis” (Ethnic Cleansing) terhadap minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Arakan bagian barat negara itu,” tegas seorang pejabat senior PBB, sampai berita ini dituliskan militer Myanmar terus melakukan operasi milliter di daerah-daerah yang mereka labeli daerah militan Islam, dikutip dari BBC.
BBC melaporkan bahwa John McKissick, perwakilan Badan Pengungsi PBB, UNHCR, menyatakan bahwa “pasukan Myanmar telah membunuhi dan menembaki mereka [Rohingya], menyembelih anak-anak mereka, memperkosa wanita-wanitanya, membakar dan menjarah rumah-rumah mereka, memaksa mereka [Rohingya] untuk menyeberangi sungai menuju wilayah negara tetangga Bangladesh.”
“Ribuan Muslim Rohingya telah mengungsi di Bangladesh,” mengutip Kementerian Luar Negeri Bangladesh. Ribuan Muslim Rohingya lainnya dilaporkan masih berada di perbatasan, dan berharap untuk dapat melarikan diri.
Namun, pemerintah Bangladesh tidak melihat Muslim Rohingya sebagai para pengungsi, dan kebijakan resmi negara itu adalah untuk tidak membiarkan mereka masuk ke dalam Bangladesh.
Minoritas Muslim Rohingya ditolak kewarganegaraannya di Myanmar, Mereka dipandang oleh pemerintah Myanmar sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, bahkan kini Bangladesh juga tidak ingin menerima mereka.
Komunitas Muslim Rohingya, berjumlah sekitar 1,1 juta jiwa. Rohingya dipandang sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia, menurut PBB. Puluhan ribu Rohingya telah melintasi perbatasan selama beberapa dekade untuk mencari perlindungan di beberapa kamp pengungsian di dekat Cox Bazaar.
“Sekarang sangat sulit bagi pemerintah Bangladesh untuk mengatakan bahwa “perbatasannya terbuka” karena ini lebih lanjut akan mendorong pemerintah Myanmar untuk melanjutkan kekejaman dan terus mendorong mereka mengusir Rohingya sampai mereka mencapai tujuan akhirnya yakni pembersihan etnis minoritas Muslim di Myanmar,” pungkas John McKissick kepada BBC.
Menurut Amnesty International, pemerintah Bangladesh telah memulai secara paksa pemulangan para pencari suaka yakni ribuan Rohingya, dan ini menyimpang dari hukum internasional.
UNHCR dan Amnesty International menuding pemerintah Mayanmar berkomitmen melakukan “hukuman kolektif,” terutama ketika militer Myanmar melakukan operasi kontraterorisme di negara bagian Rakhine itu.
Bagian utara Arakan , yang juga dikenal sebagai Rakhine, berada dalam blokade operasi militer sejak 9 Oktober, ketika 9 polisi penjaga perbatasan tewas dalam serangan pada tiga pos keamanan. Pemerintah Myanmar mengklaim para penyerang adalah militan Islam, dan mulai melakukan pemburuan yang mereka sebut ratusan jihadis Rohingya.
Para pekerja bantuan kemanusiaan dan wartawan independen dilarang memasuki daerah yang sejak awal diblokade itu. Lebih dari 150.000 Muslim Rohingya yang pada situasi normal dapat menerima bantuan demi menyelamatkan kehidupannya, kini tidak mendapatkan akses bantuan makanan atau bantuan medis selama lebih dari 6 minggu lamanya.
Lebih dari 3.000 anak-anak Rohingya di-diagnosis mengalami “malnutrisi akut” (kekurangan gizi parah), belum menerima pengobatan, bahka setengah dari mereka (1.500 anak-anak Rohingya) berada pada risiko serius kematian.
Laporan-laporan tentang kekejaman otoritas Myanmar muncul selama beberapa minggu terakhir. Reuters melaporkan bahwa puluhan perempuan Muslim Rohingya mengaku telah diperkosa oleh tentara Myanmar, sementara Human Rights Watch pekan ini mengungkapkan gambar-gambar satelit yang menunjukkan lebih dari 1.200 bangunan di desa-desa Muslim Rohingya telah terbakar habis.
Lebih dari 100 orang telah tewas dan ratusan lainnya ditahan oleh tentara Myanmar, selain itu Otortas Myanmar mengaku telah menggunakan serangan helikopter tempur terhadap dugaan sekelompok tersangka bersenjata ringan.
Bantahan Rezim Myanmar
Pemerintah Myamar membantah keras semua tuduhan-tuduhan kekejaman itu. Juru bicara Presiden Zaw Htay mengatakan kepada BBC bahwa dia “sangat, sangat kecewa” dengan pernyataan yang dibuat oleh John McKissick, dan menyatakan ia harus berbicara berdasarkan bukti-bukti kuat di lapangan.” Padahal hal itu akan menjadi tugas yang mustahil, mengingat kurangnya akses ke daerah-daerah konflik itu.
PBB dan AS telah menyerukan penyelidikan independen terhadap tuduhan pelanggaran-pelanggaran itu.
Selama 6 minggu terakhir, situasi di Rakhine telah menjadi kondisi paling mematikan di negara itu, sejak kerusuhan antara umat Buddha dan umat Muslim yang menewaskan lebih dari 100 jiwa pada tahun 2012, sebagian besar dari korban adalah Muslim Rohingya.
Sekitar 100.000 Muslim Rohingya kini masih berada dalam keterbatasan dan hidup di kamp-kamp pengungsian kumuh di mana mereka ditolak akses gerakan, pendidikan dan kesehatannya.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar?. [IZ]