KUALA LUMPUR, (Panjimas.com) – Kementerian Luar Negeri Malaysia akan memanggil Duta Besar Myanmar untuk mempertanyakan situasi eskalasi kekerasan yang meningkat di Rakhine, dilansir Xinhua.
Kemlu Malaysia akan menyampaikan keprihatinan mendalam pemerintah Malaysia atas masalah ini,” dalam sebuah pernyataan, pada hari Jumat (25/11).
Menteri luar negeri Malaysia akan segera bertemu dengan rekannya Menlu Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi, yang juga menjabat sebagai Penasihat Negara Myanmar, sesegera mungkin, demikian pernyataan Kemlu Malaysia.
Malaysia mengutuk kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Rakhine selama beberapa bulan terakhir yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan ribuan Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri.
Malaysia juga menyerukan semua pihak yang terlibat dalam kekerasan di Rakhine untuk menahan diri dari mengambil tindakan yang dapat memperburuk situasi lebih lanjut, tegas Kementerian Luar Negeri Malaysia dalam sebuah pernyataan, Jumat (25/11).
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
“Ini tampaknya menjadi tujuan militer Myanmar untuk membersihkan etnis populasi ini,” pungkasnya kepada CNN.
BBC melaporkan bahwa John McKissick, perwakilan Badan Pengungsi PBB, UNHCR, menyatakan bahwa “pasukan Myanmar telah membunuhi dan menembaki mereka [Rohingya], menyembelih anak-anak mereka, memperkosa wanita-wanitanya, membakar dan menjarah rumah-rumah mereka, memaksa mereka [Rohingya] untuk menyeberangi sungai menuju wilayah negara tetangga Bangladesh.”
Puluhan ribu Rohingya telah melintasi perbatasan selama beberapa dekade untuk mencari perlindungan di beberapa kamp pengungsian di dekat Cox Bazaar.
“Sekarang sangat sulit bagi pemerintah Bangladesh untuk mengatakan bahwa “perbatasannya terbuka” karena ini lebih lanjut akan mendorong pemerintah Myanmar untuk melanjutkan kekejaman dan terus mendorong mereka mengusir Rohingya sampai mereka mencapai tujuan akhirnya yakni pembersihan etnis minoritas Muslim di Myanmar,” pungkas John McKissick kepada BBC.
Selama 6 minggu terakhir, situasi di Rakhine telah menjadi kondisi paling mematikan di negara itu, sejak kerusuhan antara umat Buddha dan umat Muslim yang menewaskan lebih dari 100 jiwa pada tahun 2012, sebagian besar dari korban adalah Muslim Rohingya.
Sekitar 100.000 Muslim Rohingya kini masih berada dalam keterbatasan dan hidup di kamp-kamp pengungsian kumuh di mana mereka ditolak akses gerakan, pendidikan dan kesehatannya.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar? [IZ]