JAKARTA (Panjimas.com) – Setahun setelah menjadi pemimpin de-facto Myanmar, penerima Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dikecam dunia atas kegagalannya mengakhiri kejahatan militer di bagian barat laut negeri itu.
1,1 juta penduduk negara bagian Rakhine yang menyebut diri mereka muslim Rohingya adalah etnis minoritas yang lama tertindas di negara bermayoritas Budha itu. Menurut Council of Foreign Policy, Rohingya sudah tinggal di Myanmar sejak abad ke-15. Ironisnya sampai kini mereka tak diakui sebagai warga negara dan tidak memiliki hak pilih.
Para pengamat internasional telah mendokumentasikan pencabutan hak pilih dan diskriminasi yang dialami etnis Rohingya, termasuk dalam hal pembatasan pernikahan, perencanaan keluarga, lapangan kerja, pendidikan dan kebebasan bergerak.
Ketegangan antara warga Budha dan Rohingya meluas sejak 2012 karena dipicu oleh serentetan agresi, termasuk tuduhan pemerkosaan dari kedua belah pihak. Meningkatnya kekerasan antara warga Muslim, warga Budha dan pasukan keamanan di Rakhine menyebabkan ribuan warga Rohingya mengungsi ke negara-negara tetangga, termasuk Bangladesh.
Awal Oktober silam, tiga pos polisi di sepanjang perbatasan Myanmar-Bangladesh diserang massa yang terkoordinasi sehingga sembilan polisi tewas dan memicu bentrok berhari-hari. Dalam pernyataannya, Presiden Htin Kyaw, presiden terselubung untuk Suu Kyi, mengambinghitamkan kelompok militan lokal Aqa Mul Mujahidin (AMM). Dia menyebut serangan itu adalah usaha mempromosikan ideologi ekstrimis Islam di dalam negara bagian Rakhine yang mayoritas penduduknya muslim.
Htin Kyaw menyebut AMM didanai orang-orang Timur Tengah untuk melancarkan serangan itu. Dia juga menyatakan AMM berafiliasi dengan Organisasi Solidaritas Rohingya, yakni sebuah kelompok bersenjata yang berada di balik ofensif maut terhadap pasukan pemerintah pada 1980-an dan 1990-an.
Menanggapi serangan itu, tentara bersama helikopter serbu belum lama ini dikirimkan ke Rakhine. Sejak itu tentara-tentara ini dituduh membunuh, memperkosa dan menjarah Rohingya. Kejadian ini disebut sebagai episode terburuk kebrutalan pemerintah terhadap etnis Rohingya dalam empat tahun terakhir.
Namun Suu Kyi, aktivis HAM terkemuka yang partai pimpinannya Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang naik berkuasa lewat Pemilu November silam, diam seribu bahasa dalam isu Rohingya ini, bahkan pemerintahannya menolak tuduhan bahwa militer telah menyalahgunakan kekuasaan.
“Jawaban pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar antara tidak berkuasa terhadap militer yang tetap berkuasa atau menganggap melindungi minoritas etnis itu terlalu politis di mata mayoritas kaum nasionalis Budha yang vokal di negeri ini,” kata Ryan Aherin, analis senior Asia pada Verisk Maplecroft.
Krisis Rakhine sudah dibahas dalam pertemuan tertutup Dewan Keamanan PBB di New York pekan lalu di mana duta besar AS untuk PBB mengutarakan keperihatinannya bahwa pemerintahan Suu Kyi tidak bisa menangani masalahnya sendiri.
Akses ke Rakhine juga sangat dibatasi sehingga tidak ada laporan akurat mengenai situasi di sana. Dalam kaitan ini PBB dan Human Rights Watch (HRW) mendesak pemerintah Myanmar mengizinkan badan-badan bantuan dan wartawan independen untuk masuk serta menginvestigasi pelanggaran hak asasi manusia.
Baik citra NLD maupun Suu Kyi kini di ujung tanduk.
“Situasi ini melukiskan bahwa pemerintahan pimpinan NLD tidak banyak mencapai kemajuan dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sejak berkuasa pada Maret 2016,” kata Aherin.
Pengabaian pemerintah atas representasi penuh semua warga negara dan penguatan sistem “checks and balances” di lembaga-lembaga politik dan militer, mewujud pada rendahnya kepatuhan terhadap nilai-nilai demokratis, sambung dia.
Pekan ini China menyeru kedua belah pihak di Rakhine untuk menurunkan ketegangan, di tengah 3.000-an orang mengungsi di perbatasan Myanmar-China. Sementara Barat saat ini makin gencar mengecam Suu Kyi yang aktivitas-aktivitas pro-demokrasinya telah mengantarkannya sebagai pahlawan internasional.
“Aung San Suu Kyi tengah melegitimasi genosida di Myanmar dan telah menguatkan penindasan terhadap minoritas Rohingya,” kata para spesialis kejahatan negara dari Universitas Queen Mary di London.
“Kendati fakta bahwa ini adalah ujian terbesar untuk kepemimpinan Suu Kyi, dia tetap saja sama sekali tak peduli,” kata para spesialis kejahatan negara itu. “Dalih dia bahwa ‘kami tidak berniat menyembunyikan apa pun di Rakhine’ benar-benar tidak tulus. Pernyataannya hanya bisa diterjemahkan sebagai penyangkalan, yang adalah strategi umum dan integral yang disampaikan negara-negara kriminal yang menangkis tuduhan.”
Kamis kemarin John McKissick dari badan urusan pengungsi PBB, UNHCR, berkata kepada BBC bahwa pemerintah Myanmar tengah berusaha melakukan pembasmian etnis Rohingyas dari wilayahnya.
Sejak 2013, HRW terus menuduh pemerintah Myanmar melakukan kejahatan terhadap kemanusian dalam kampanye pembersihan etnis Rohingya, demikian laman CNBC. [AW/Antara]