JAKARTA, (Panjimas.com) – Pernyataan Kapolri yang melarang aksi massa ‘Aksi Bela Islam III’ pada Jumat, 2 Desember 2016 mendatang dan mencurigai adanya gerakan makar dinilai sebagai langkah mundur ke era Orde Baru (Orba).
Pernyataan ini disampaikan Lembaga Advokasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) SNH Advocacy Center menanggapi sikap kepolisian atas rencana aksi umat Islam ini.
“Penyampaian pendapat di muka umum dilindungi Undang-Undang,” ujar Harry Kurniawan, selaku Sekjen Eksekutif SNH Advocacy Center dalam pernyataan sikapnya yang dikirim Islamic News Agency (INA), asosiasi berita JITU, Senin (12/11/2016).
Menurut Harry, pernyataan larangan dari kepolisian jelas melanggar Undang-Undang. Ia menghawatirkan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo kembali ke zaman Orde Baru, di mana penguasa dan pemimpin negeri anti kritik dan memaksakan kehendak.
Menurut Harry, menyampaikan pendapat adalah hak warga yang dilindungi hukum. Menghalang-halangi kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, termasuk suatu kejahatan.
“Pelakunya (menghalang-halangi) dapat dikenakan pidana penjara sebagaimana Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” terang Harry.
Lebih lanjut Harry menjelaskan, Indonesia sebagai negara demokrasi, oleh karenanya, patut menghormati hak-hak rakyat.
“Salah satunya adalah menyampaikan pendapat di muka umum,” ujar advokat yang menekuni bidang human rights ini”.
Saat ditanya mengenai orang-orang yang dilaporkan atas dasar dugaan penghinaan terhadap penguasa, Harry menilai, pemerintah sekarang mulai lebih represif dibanding dengan pemerintahan sebelumnya.
Menurut Harry, adanya gelombang Aksi Super Damai yang rencannya akan dilangsungkan pada tanggal 2 Desember 2016 adalah bagian dari reaksi pemerintah yang dinilai kurang cepat melakukan antisipasi terkait perkara penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakara (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama yang sudah berstatus tersangka namun masih menunjukan iktikad yang kurang baik sebagaimana dugaan telah melakukan fitnah dan berita bohong bahwa para demonstran di bayar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Kasus ini membuat banyak pihak melaporkan kembali dirinya ke Kepolisian.
“Sudah tepat kiranya apabila hari ini jadi diperiksa untuk pertama kali sebagai tersangka Basuki Tjahaja Purnama dan langsung dilakukan penahanan agar tidak terjadi keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana sebagaimana KUHAP mengaturnya, “ tutup Harry. [RN/Kholis]