SOLO,(Panjimas.com) – Bidang Syiar Fosmi bersama Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, menggelar Diskusi Ilmiah bertema “Tindak Pidana Penistaan Agama” di Aula Fakultas Hukum UNS, Rabu (23/11/2016).
Sebagai pembicara dihadirkan Ustadz Dr.Muinudinillah Basri,Lc.MA selaku Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), Prof.Dr.Supanto,SH.MHum, Dekan Fakultas Hukum UNS, dan Dr.M.Taufik.SH.MH, Advokat.
Ustadz Muin dalam paparannya, menitikberatkan bahwa yang meyakini simbol Islam oleh Allah maka beriman, sedang yang mengkufuri, melecehkan, menistakan maka telah kafir. Allah menghukumi orang tersebut dengan diperangi atau dibunuh.
“Jadi ketika kita bicara pelecehan agama, orang Islam kok menistakan Islam berarti sudah murtad. Dia telah gugur jaminan hidupnya, yang dipegang omongannya. Artinya ketika menjabat kemudian disumpah, untuk menghormati konstitusi Indonesia, konstitusinya berdasarkan ketuhanan yang Maha esa. Kok memperolok-olok sumpah mereka maka perangilah mereka, itu dalam Islam” katanya.
Ketua DSKS tersebut mengatakan kesepakatan Ulama, hukuman bagi penista agama adalah hukuman mati. Dia mencontohkan beberapa kisah para sahabat ketika Rasul dihina dia tidak marah, namun dia tawarkan pada sahabat siapa yang mampu membereskannya.
“Permasalahannya itu pada kita, ketika Allah dilecehkan, ketika orang yang paling suci dilecehkan, dan ketika Quran dilecehkan, disinilah sebetulnya ujian keimanan kita kepada Allah subhanahu wata’ala” pungkasnya.
Sementara uraian Prof Supanto bahwa negara menghormati setiap agama dan melarang melecehkan setiap agama. Adanya pidana justru memberikan kelonggaran dari hukuman mati yang diterapkan pada hukum Islam.
“Mengapa perlu hukum pidana, karena dari hukum Islam bisa dipidana mati. Kita di Indonesia perlu, kalau tidak ada kerangkanya ya betul-betul dihukum mati. Adanya hukum pidana ini menghilangkan pembalasdendaman” ujarnya.
Sedang, M Taufik Advokat asal Solo berpendapat keadilan subyektif yang dilakukan adanya peran hukum Negara. Peran catur wangsa, Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara akan bekerja manakala Polisi kreatif dalam bergerak membuat banyak atau sedikitnya perkara. Maka ini yang disebut Polisi hukum yang hidup.
“Didalam peradilan negara kita Polisi itu juga disebut sebagai hukum yang hidup. Dan ini yang sering menjadikan permasalahan itu cepat atau tidak. Didalam kreatifitas Polisi terkadang menciptakan hukum baru, maka sangat subyektif sekali manakala orang ditahan atau tidak ditahan” ujarnya.
Acara diskusi tersebut berakhir setelah melalui sesi tanya jawab. Sekitar 6 penanya dipersilahkan untuk menyampaikan permasalahannya pada pembicara.
Antusiasme peserta dari Fakultas Hukum yang bagus menarik minat mahasiswa Fakultas lain. Terbukti dengan dipenuhinya ruangan Aula tersebut, hingga harus membuka ruang koridor. [SY]