YANGON, (Panjimas.com) – Kelompok hak asasi internasional, Human Rights Watch (HRW) pada hari Kamis (17/11) mendesak pemerintah Myanmar untuk segera mengizinkan para pemantau independen dan wartawan untuk memverifikasi laporan terkait pemusnahan massal dan pelanggaran hak-hak lainnya terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, dilansir Anadolu.
Surat kabar “Myawaddy” yang dikelola pihak militer Myanmar mengklaim bahwa serangan-serangan pembakaran massal di desa-desa Muslim Rohingya di Rakhine yang kini berada di bawah kontrol militer Myanmar, merupakan ulah sepihak warga desa-desa Muslim Rohingya untuk membangkitkan simpati global, sementara kelompok Muslim Rohingya mengatakan bahwa pembakaran dan penghancuran massal merupakan taktik militer Myanmar untuk menghapus desa Muslim Rohingya dan kemudian membelokkan opini dengan menyalahkan mereka.
Pada hari Kamis (17/11) pekan lalu, LSM yang berbasis di New York, Amerika Serikat itu, Human Rights Watch (HRW) mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pemerintah Myanmar harus memberikan para pengamat hak asasi manusia dan wartawan independen akses secara cepat dan tak terbatas ke daerah tersebut, dan pihak berwenang juga telah mengkonfirmasibanyaknya kerusakan properti.
Sebuah tim inspeksi militer mengklaim pada Rabu (16/11) bahwa 185 bangunan dibakar di 4 desa Muslim Rohingya di Maungdaw, sementara menurut laporan HRW pada tanggal 13 November yang memanfaatkan citra satelit berhasil mengidentifikasi 430 bangunan hancur di daerah itu.
HRW mengidentifikasi total sebanyak 430 bangunan hancur di 3 desa Muslim di kabupaten Maungdaw utara, berdasarkan analisis citra satelit beresolusi tinggi yang tercatat dipotret pada pagi hari tanggal 22 Oktober, 3 November, dan 10 November 2016. Dari jumlah ini, sebanyak 85 bangunan hancur di desa Pyaung Pyit (Ngar Sar Kyu), sementara 245 bangunan hancur di desa Kyet Yoe Pyin, dan 100 bangunan lainnya juga hancur di desa Wa Peik (Kyee Kan Pyin).
Melihat tanda-tanda kerusakan di setiap desa Muslim Rohingya di Maungdaw itu, sangat konsisten diakibatkan oleh api, termasuk keberadaan bekas luka bakar besar dan hancurnya pohon-pohon yang menaunginya. Karena tutupan pepohonan lebat, sangat mungkin bahwa jumlah sebenarnya dari bangunan-bangunan yang hancur lebih tinggi.
“Konfirmasi Pemerintah Burma [Myanmar] terkait meluasnya kerusakan akibat kebakaran di negara bagian Rakhine, seharusnya dengan menawarkan diizinkannya akses media sebagai langkah untuk mendapatkan kebenaran tentang apa yang terjadi,” tandas Direktur HRW Asia, Brad Adams.
“Tapi ini terlau lama, dan sudah terlambat … akses cepat dan tanpa hambatan ke daerah yang terkena dampak untuk penyelidikan independen oleh media dan organisasi hak asasi manusia sangatlah penting.”, pungkasnya
Pada hari Rabu (16/11), Shwe Maung, seorang Muslim Rohingya mantan anggota Parlemen Myanmar, menggambarkan bahwa laporan media pemerintah itu “konyol”, Ia pun menambahkan bahwa “taktik” semacam itu telah lama digunakan oleh militer di Maungdaw sebelumnya.
“Ini bukan berarti hal itu aneh, karena warga desa Muslim Rohingya juga disalahkan ketika tentara dan polisi membakar rumah-rumah di desa Du Chi Yar Tan,” jelasnya, Maung mengacu pada sebuah kejadian pada bulan Januari 2014 di mana 48 Muslim Rohingya dilaporkan tewas.
“Pemerintah harus menyelidiki apa yang terjadi di Maungdaw, bukannya menyalahkan korban lagi dan lagi.”
Tuduhan itu mencerminkan kampanye di mana kedua pihak, Muslim Rohingya dan militer Myanmar mencoba untuk saling menyalahkan.
Sejak kelompok bersenjata melancarkan serangan fatal pada stasiun polisi di bagian barat bulan lalu di Myanamr, pemerintah mengatakan bahwa sedikitnya 86 orang, 17 tentara dan 69 Rohingya, diduga “penyerang” (di antara mereka terdapat 2 perempuan) – telah tewas di Rakhine.
kelompok Rohingya, bagaimanapun, mengklaim bahwa jumlah nyawa yang melayang dalam pekan terakhir saja mencapai 150 warga sipil.
Pemerintah mengatakan bahwa tentara Myanmar telah menangkap lagi 30 Muslim Rohingya, sehingga jumlah keseluruhan yang ditahan sebanyak 278 jiwa, karena dituduh sepihak bersiap-siap untuk menyerang pasukan pemerintah selama operasi pembersihan militer berlangsung.
Belum ada verifikasi independen atas penangkapan atau serangan, karena akses ke daerah tersebut di dekat perbatasan Bangladesh berada di bawah kontrol militer Myanmar sejak serangan terhadap kantor polisi pada 9 Oktober
Pada hari Rabu (16/11), Mayor Jenderal. Soe Naing Oo mengatakan dalam konferensi pers di ibukota Nay Pyi Taw, bahwa hal itu sulit untuk memastikan keamanan dan keselamatan saat wilayah yang bersangkutan telah dinyatakan sebagai zona operasi militer dan pasukan “seringkali disergap”.
“Para penyerang tidak berseragam dan pasukan militer tidak bisa benar-benar mengatakan di mana kamp-kamp dari para penyerang itu berasal,” demikian menurut laporan surat kabar pemerintah, mengutip laporan “The Mirror”. [IZ]