JAKARTA, (Panjimas.com) – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nasir mengungkapkan ada empat masalah dalam pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Seribu waktu lalu yang diduga menistakan al-Quran dan menghina ulama.
“Ujarannya sendiri sudah masalah. Jadi, kalau dalam peristiwa ini kita lihat ujarannya sebagai teks, kemudian konteksnya (ujaran itu dalam situasi apa), kemudian aktornya (siapa yang menyampaikan) dan terakhir dampaknya,” ujar Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nasir di Gembok PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jum’at (11/11/2016).
Menurutnya, ujaran Basuki Tjahaja Purnama kalau menggunakan kata biasa (normal), mungkin tidak akan berdampak luas. Karena, dalam politik orang selalu menggunakan ayat untuk kepentingan politik.
“Kalau hanya sekedar menggunakan Al-Maidah saja mungkin tidak menjadi masalah. Tapi, ketika menggunakan kata dibohongi pakai Al-Maidah 51 memang itu menjadi masalah. Baik dengan menggunakan kata ‘pakai’ atau tidak menggunakan kata ‘pakai’,” katanya.
Kedua aktor, lanjutnya, kita ketahui bahwa Pak Ahok sedang bertanding di dalam pilkada, siapapun dia akan ada tarik-menarik kepentingan dan perlindungan politik. Kemudian lebih dari itu, tuturnya, Pak Ahok ini memang sudah ada banyak rangkaian, memang selalu mengundang masalah dalam banyak hal.
“Nah, ini kita tinggal menunggu prosesnya saja seperti pemain bola yang banyak melakukan pelanggaran tapi belum diberikan kartu kuning atau kartu merah. Nah, tinggal tunggu wasit aja,” imbuhnya.
Ketiga masalahnya ialah dalam konteks politik dan sosial. Ia mengatakan, konteks saat ini beragam sekali dan semakin terakumulasi, pada konteks itu, menurutnya, untuk kepentingan politik, ekonomi, agama, keresahan sosial, sehingga dalam teori sosiologi-politik itupun disebut ‘saling silang kepentingan’, sehingga melahirkan berbagai macam dampak.
“Dampak itu meluas, menimbulkan keresahan, keterbingungan, rasa direndahkan, dihinakan dan dinista. Nah, bila dampak ini meluas, maka unsur pasal 156 KUHP bisa terpenuhi. Dampak dari pernyataan itu sudah terbukti meluas dan menimbulkan keresahan, maka muncullah reaksi yang disebut 4 November.” pungkasnya. [DP]