MAUNGDAW, (Panjimas.com) – Ratusan bangunan di desa-desa Muslim Rohingya di Myanmar telah dibakar, demikian menurut gambar-gambar satelit terbaru yang dirilis HRW (Human Rights Watch) pada hari Ahad (13/11), menyusul meletusnya pertempuran baru yang berkobar di wilayah konflik itu.
Bagian utara Provinsi Rakhine, yang merupakan rumah bagi minoritas Muslim Rohingya dan berbatasan langsung dengan Bangladesh, berada di bawah kepungan militer Buddha Myanmar. Operasi militer ketat Myanmar ini diberlakukan sejak terjadinya insiden serangan di pos perbatasan yang menewaskan 9 anggota Kepolisian bulan Otober lalu, dilansir Al Arabiya News Channel.
“Gambar-gambar satelit terbaru itu tidak hanya mengkonfirmasi kerusakan luas di desa-desa Muslim Rohingya tetapi juga menunjukkan bahwa kerusakan tersebut bahkan lebih besar dan lebih parah dari yang pernah kami pikir pertama kali,” demikian pernyataan Human Rights Watch (HRW) seperti ditegaskan oleh Direktur HRW Kawasan Asia, Brad Adams.
“Otoritas Burma (Myanmar) harus segera membentuk sebuah tim investigasi bersama PBB sebagai langkah pertama menuju dijaminnya keadilan dan keamanan bagi para korban [Muslim Rohingya].”, pungkas Adams.
HRW mengidentifikasi total sebanyak 430 bangunan hancur di 3 desa Muslim di kabupaten Maungdaw utara, berdasarkan analisis citra satelit beresolusi tinggi yang tercatat dipotret pada pagi hari tanggal 22 Oktober, 3 November, dan 10 November 2016.
Dari jumlah ini, sebanyak 85 bangunan hancur di desa Pyaung Pyit (Ngar Sar Kyu), sementara 245 bangunan hancur di desa Kyet Yoe Pyin, dan 100 bangunan lainnya juga hancur di desa Wa Peik (Kyee Kan Pyin).
Melihat tanda-tanda kerusakan di setiap desa Muslim Rohingya di Maungdaw itu, sangat konsisten diakibatkan oleh api, termasuk keberadaan bekas luka bakar besar dan hancurnya pohon-pohon yang menaunginya. Karena tutupan pepohonan lebat, sangat mungkin bahwa jumlah sebenarnya dari bangunan-bangunan yang hancur lebih tinggi.
Selain citra satelit yang ditinjau oleh HRW, laporan-laporan organisasi hak asasi manusia, media, dan anggota delegasi dari 9 Duta Besar asing yang berkunjung ke beberapa daerah yang terkena dampak pada Rabu dan Kamis (9-10/11/2016) pekan lalu mengkonfirmasi bahwa “kerusakannya substansial”. Komisi tidak mengadakan penyelidikan resmi atau penilaian, akan tetapi menegaskan bahwa Komisi melihat di beberapa kota, perihal banyaknya struktur bangunan-bangunan yang dibakar.
Krisis kemanusiaan berikut kekerasan pada 9 Oktober melaporkan bahwa sekelompok bersenjata menyerang 3 pos-pos polisi di kota Maungdaw bagian utara negara bagian Rakhine sehingga menewaskan 9 petugas polisi. Otoritas Myanmar mengklaim bahwa penyerang membawa kabur puluhan senjata dan ribuan amunisi. Pemerintah Myanmar juga menegaskan serangan itu dilakukan oleh kelompok Rohingya, namun terkait hal itu hingga kini pihak mana yang sebenarnya bertanggung jawab masih belum jelas.
Segera, menyusul serangan pos perbatasan, Otoriats Buddha Myanmar menyatakan kota Maungdaw sebuah “zona operasi militer” dan mulai menyisir dan menyerbu daerah-daerah untuk mencari para penyerang dan senjata-senjata yang diklaim hilang. Militer Myanmar sangat membatasi kebebasan bergerak dari para penduduk lokal dan bahkan otoritas telah memperpanjang kebijakan “jam malam”, yang hingga kini masih berlaku.
Penyelidikan PBB pada hari Rabu (09/11) diperlukan untuk memeriksa serangan-serangan mematikan di pos penjaga perbatasan, dan berbagai tuduhan oleh media dan kelompok-kelompok lokal bahwa pasukan keamanan Buddha Myanmar kemudian melakukan aksi pembunuhan kejam, kekerasan seksual, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembakaran, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya terhadap para penduduk Rohingya di desa-desa Muslim di kabupaten Maungdaw, pungkas Human Rights Watch (HRW).
Pada tanggal 28 Oktober, Reuters menerbitkan wawancara dengan wanita Muslim Rohingya yang menyatakan bahwa tentara Buddha Myanmar telah memperkosa mereka. Pemerintah Myanmar juga diduga telah menekan ‘Myanmar Times” untuk memecat salah satu editor mereka yang melaporkan dugaan pemerkosaan oleh tentara-tentara Myanmar.
Kebijakan pembatasan akses ke daerah-daerah diberlakukan pemerintah kepada para wartawan dan pemantau hak asasi manusia, bahkan pemerintah Myamar terus berupaya menghambat pengumpulan informasi yang berimbang.
Reuters melaporkan bahwa militer Myanmar telah mengabaikan permintaan pejabat sipil untuk rincian lebih lanjut tentang situasi.
“Angkatan Bersenjata Myanmar tidak hanya menjaga para pengamat independen agar tidak dapat memasuki daerah-daerah Muslim Rohingya yang terkena dampak, mereka tampaknya bahkan tidak mengatakan kepada pemerintah mereka sendiri, tentang apa yang sedang terjadi,” kata Brad Adams, Direktur HRW Kawasan Asia
“Pihak berwenang perlu untuk memberikan akses tak terbatas kepada PBB, media, dan para pemantau HAM ke daerah-daerah Muslim Rohingya, untuk menentukan apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.”
Pemerintah Myanmar baru-baru ini memberikan akses kepada World Food Programme (WFP) ke 4 desa Rohingya untuk pengiriman makanan selama satu kali. Namun, kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan terus ditolak aksesnya secara penuh, meskipun kini puluhan ribu penduduk Rohingya dalam kondisi sangat rentan pada risiko yang lebih besar dan bahaya kematian.
Sebagian besar desa-desa tidak menerima bantuan, dan wilayah yang ditinggali Muslim Rohingya tetap disegel dari tim penilaian kemanusiaan dan kelompok hak asasi manusia.
Sebuah pernyataan UNICEF (Badan Dana Anak PBB) pada Selasa (15/11) mencatat bahwa anak-anak Muslim Rohingya di bagian utara Rakhine kini telah menderita kondisi sangat kekurangan terutama kekurangan gizi.
“Masa depan mereka bergantung pada bantuan dari dokter, perawat, guru dan pihak lain yang dapat memberikan mereka pelayanan gizi, kesehatan dan pendidikan,” demikian pernyataan UNICEF.
Pemerintah Myanmar harus segera memenuhi jaminan distirbusi bantuan kemanusiaan ke semua wilayah yang terkena dampak, tegas HRW.
“Pemerintah Burma dan militer harus segera memungkinkan akses kemanusiaan ke populasi yang rentan,” kata Brad Adams.
“PBB dan pemerintah negara lai yang prihatin dengan situasi ini, perlu untuk memberikan tekanan pada otoritas Myanmar untuk memastikan bantuan dapat mencapai semua daerah yang terkena dampak, ditenagh krisis yang memasuki bulan kedua ini.” pungkas Direktur HRW Asia itu. [IZ]