JAKARTA, (Panjimas.com) – Bareskrim Mabes Polri pada Selasa, (15/11/2016) memulai gelar perkara penyelidikan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok di Mabes Polri. Demikian dilansir JITU News Agency.
Pantauan JITU News Agency, sejumlah saksi-saksi ahli didatangkan utuk memberi penjelasan. Seperti ahli agama, ahli bahasa, dan ahli hukum pidana.
Salah satu ahli bahasa, Husni Muadz menjelaskan bahwa sisi linguistik dari perkataan Ahok yang dinilai telah menista agama Islam tersebut.
Husni menjelaskan, secara ‘teori tindakan bahasa’ yang digunakan Ahok, maka kemungkinan Ahok dengan kata-katanya di Kepulauan Seribu itu memuat beberapa tindakan.
Pertama, memiliki niat untuk mengekspresikan apa yang ada di hatinya (intentional state). Antara konsep dalam hati (isi hati) dengan ekspresi Ahok harus sesuai, jika ia jujur. Dan ini bisa terjadi hanya jika ia menggunakan niat untuk ekspresinya.
“Sebaliknya, bila Ahok tidak memiliki niat untuk mengekspresikan isi hati, maka berarti Ahok sedang membuat kebohongan. Kenapa? Karena ini berarti Ahok sedang mengekspresikan sesuatu yang tidak sesuai atau tidak ada dalam hatinya,” jelas Husni.
Kedua, niat bahwa ekspresi itu terkait dengan representasi kebenaran, yaitu bahwa kalimat “YA KAN DIBOHONGI PAKE SURAT AL MAIDAH 51 MACAM-MACAM ITU”, adalah benar sesuai klaim Ahok. Ini artinya, Ahok mempercayai bahwa kalimat itu benar. Tidak mungkin menyatakan sesuatu tetapi tidak mempercayainya sekaligus.
Artinya, tidak mungkin seseorang bisa membuat klaim tentang sesuatu itu benar atau salah bila tidak dilakukannya dengan sengaja dan sadar. [RN/Nizar Malisy]