JAKARTA, (Panjimas.com) – Ahli hukum pidana Teuku Nasrullah menyatakan sejak dahulu, Majelis Ulama Indonesia selalu menjadi rujukan pemerintah jika menyangkut perkara hukum yang beririsan dengan agama. Namun, saat ini posisi MUI seolah-olah terdegradasi ketika aparat menangani kasus penistaan agama oleh Ahok.
“Dulu banget, rujukannya ke pendapat MUI. Waktu itu Kabareskrim bilang menunggu pendapat MUI (dalam kasus Ahok, red). Sekarang MUI terdegradasi. Tidak lagi jadi rujukan. Kita lihat saja,” kata Nasrullah, di Rumah Amanah Rakyat, belum lama ini.
Menurutnya, sejumlah kasus penistaan agama seperti yang terjadi pada kasus penistaan agama oleh aliran Al-Qiyadah Islamiyah, Gafatar, Lia Eden, Musadek dan sebagainya selalu merunut pada pendapat Majelis Ulama Indonesia.
Di sisi lain, ada pendapat ahli hukum tatanegara yang menyatakan ucapan Ahok adalah kebebasan berpendapat yang dijamin UU. Tapi kebebasan berpendapat juga ada rambunya.
“Jangan sampai kebebasan berpendapat menafikan keberadaan hukum pidana,” ujar dia.
Dosen hukum Universitas Indonesia ini menambahkan penuntut umum tidak perlu membuktikan adanya perasaan ketersinggungan agama dalam pasal 156 a tentang penistaan agama.
“Penistaan itu masuknya delik formil. Penuntut tidak perlu membuktikan unsur kesengajaan karena peristiwanya sudah terjadi. Ditambah lagi, banyak masyarakat yang berdemo (karena ucapan Ahok, red). Ini sudah menunjukkan adanya pelanggaran ketertiban umum,” tambah Nasrullah. [RN/Fajar Shadiq]