JAKARTA, (Panjimas.com) – Energi bangsa ini benar-benar terkuras habis untuk mengurusi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sebenarnya kasus dugaan penistaan agama ini sederhana dan sudah ada contoh penegakkan hukumnya, tetapi publik menilai geliat aparat penegak hukum kurang lincah, bahkan cenderung menunda-nunda, ditambah gesture Presiden yang lambat merespon kasus ini.
Jika melihat sensitifnya tema yang disinggung Ahok, ditambah bertepatan dengan momentum pilkada, dan sosoknya yang memang kontroversial, seharusnya negara bisa menganalisis bahwa penistaan agama ini akan meluas dan menjadi isu nasional.
“Jika negara, terutama Presiden, punya manajemen konflik yang diperlihatkan lewat kebijakan, pernyataan, dan tindakannya, kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Saudara Basuki, dampaknya tidak akan sebesar ini. Puncaknya, Presiden enggan menemui perwakilan perserta Aksi Damai 411. Padahal kita tahu, Pak Jokowi punya kemampuan luar bisa dalam menyelesaikan konflik baik selama jadi Walikota Solo maupun saat jadi Gubernur DKI Jakarta. Namun untuk kasus Ahok, kemampuannya ini sama sekali hilang,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Selasa, (8/11).
Fahira mengungkapkan, sejak awal kasus ini muncul dipermukaan dan menjadi sorotan publik, satu-satu strategi yang dilakukan negara adalah menunggu reaksi publik. Jika reaksi publik biasa-biasa saja atau hanya riak-riak kecil saja, maka pengusutan kasus ini bisa ditunda setelah pilkada. Namun, nyatanya reaksi publik sangat luar biasa dan pemerintah gamang melihat bola salju desakan masyarakat dari seluruh Indonesia agar proses hukum Ahok dilakukan dengan cepat, tegas, dan transparan.
Kondisi ini, bagi Fahira, memperlihatkan baik Presiden dan para pembantunya terutama Polri tidak sensitif menganalisis situasi. Padahal, kasus ini jika mau dianalisis secara akal sehat saja, baik tingkat keterdesakan, tingkat keseriusan, dan tingkat pertumbuhannya berpotensi menjadi sebuah krisis sangat tinggi. Harusnya, Aksi Bela Islam jilid I yang berlangsung 14 Oktober lalu sudah menjadi sinyal bahwa isu dugaan penistaan agama ini akan meluas. Namun, paska aksi jilid I tersebut, publik melihat perkembangan kasus ini tidak ada greget-nya.
“Pra Aksi Damai 411, pemerintah khawatir aksi ini akan disusupi dan akan ricuh, tetapi pemerintah tidak menutup celah-celah yang bisa dimanfaatkan oknum tertentu untuk membuat ricuh. Presiden harusnya bersedia menerima wakil peserta aksi. Presiden harus bangga masih menjadi tumpuan rakyat untuk mengadu langsung. Ini bentuk penghormatan, tetapi malah tidak disambut. Saya tidak tahu siapa yang merekomendasikan Presiden agar tidak menemui langsung perwakilan peserta aksi. Tapi yang jelas, rekomendasi ini keliru, Presiden harus tahu itu,” tukas Senator Jakarta ini.
Namun, lanjut Fahira, ketiadaan manajemen konflik terkait kasus Ahok ini sepertinya akan berlanjut. Selama Ahok diperiksa, ada gerakan yang coba menggeser dan membolak-balikkan logika publik bahwa Buni Yani, pengunggah video Ahok dianggap orang yang paling bertanggung jawab terhadap kemarahan publik dan kericuhan aksi damai 411. Ada gerakan yang masif dan sistematis untuk mencari kambing hitam atas semua peristiwa besar yang terjadi belakangan ini.
“Kasus utama itu dugaan penistaan agama oleh Ahok. Kasus Buni Yani itu kasus sampingan. Bagaimana ceritanya, obyek yang menjadi kasus utama masih dalam pemeriksaan, tetapi obyek yang menjadi kasus sampingan sudah berpotensi menjadi tersangka. Opini-opini seperti ini akan menambah polemik baru karena banyak yang marah atas opini seperti ini,” pungkas Fahira. [RN]