MAUNGDAW, (Panjimas.com) – Rencana pemerintah Buddha Myanmar untuk mempersenjatai dan melatih warga kafir di wilayah negara bagian Rakhine cenderung akan memperburuk situasi hak asasi manusia yang kini pun telah sangat mengkhawatirkan”, demikian pernyataan Komisi Ahli Hukum Internasional (International Commission of Jurists), sebuah Badan Pengawas Hak Asasi Manusia, dilansir Reuters.
Tentara Myanmar telah membanjiri wilayah Maungdaw di sepanjang perbatasan Myanmar dengan Bangladesh di negara bagian Rakhine menanggapi serangan terkoordinasi pada 3 pos perbatasan pada 9 Oktober di mana sembilan polisi Myanmar tewas.
Pemerintah Myanmar mengklaim terdapat sekitar 400 pejuang Muslim Rohingya yang menyerang pos perbatasan. Selain itu dalam baku tembak itu, Pemerintah Myanmar menyebutkan 5 tentara dan setidaknya 33 pejuang Rohingya telah tewas dalam operasi militer sejak saat itu.
Pasukan keamanan Myanmar kini telah memblokir akses para relawan bantuan kemanusiaan dan juga akses para wartawan ke Maungdaw. Pemimpin Muslim Rohingya menyatakan bahwa tentara Buddha telah mengeksekusi, melakukan pemerkosaan dan membakar rumah-rumah warga sipil Rohingya. Namun, Pemerintah dan militer Myanmar menyangkal hal itu. Padahal baru beberapa waktu lalu pihak Arakani Observatory melalui akun twitter-nya mencuit bahwa pasukan pemerintah Myanmar selama bulan Oktober saja, telah membakar 6 desa Muslim Rohingya di negara bagian Arakan serta menewaskan sedikitnya 65 Muslim dan menangkapi beberapa korban Muslim lainnya.
Arakani Observatory merilis gambar-gambar ibu-ibu beserta anaknya di jalanan setelah rumah-rumah mereka dibakar oleh tentara Buddha Myanmar. Fakta tak terbantahkan yang ditunjukkan Arkani Observatory ini membuktian secara nyata bahwa penolakan keterlibatan pemerintah dalam pembakaran desa-desa Muslim Rohingya.
Pihak Arkani Observatory juga menerbitkan upaya banding ke masyarakat internasional atas nama Muslim Rohingya dengan menyatakan: “Di mana kami (Rohingya) akan menetap sekarang setelah kami dipaksa keluar dari rumah-rumah kami yang dibakar . . . Dan apa yang akan kami makan setelah sumber mata pencaharian kami juga dibakar?”.
Kepolisian Rakhine Rekrut dan Persenjatai Warga Kafir
Sementara itu, Kepala Polisi wilayah negara bagian Rakhine Kolonel Sein Lwin mengatakan kepada Reuters pekan ini bahwa pasukannya telah mulai merekrut anggota-anggota Polisi baru dari kalangan etnis Rakhine dan warga non-Muslim serta etnis minoritas lainnya di daerah itu.
“Membentuk pasukan bersenjata, terlatih, dengan kekuatan akuntabel diambil dari satu komunitas di tengah-tengah ketegangan etnis yang serius dan kekerasan adalah skenario bencana kemanusiaan,” kata Sam Zarifi, Direktur ICJ Asia (International Commission of Jurists), dalam sebuah pernyataannya, Jumat (04/11).
Min Aung, seorang Menteri di Parlemen negara bagian Rakhine yang juga merupakan anggota Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) yang diketuai oleh Aung San Suu Kyi, mengatakan pekan ini bahwa pasukan keamanan itu direkrut dan bertujuan akan membantu melindungi warga dari para militan di balik serangan 9 Oktober.
Wakil Komandan Polisi Rakhine, Kolonel Thit San, ketika dihubungi oleh Reuters pada hari Sabtu (05/11), menolak kritikan banyak organisasi internasional, dengan mengatakan bahwa tidak akan ada masalah dengan kekuatan (Milisi non-Muslim) seperti itu yang akan berada di bawah komando polisi.
“Kami sudah melakukan pelatihan sebelumnya, yaitu perekrutan polisi normal seperti lima atau enam kali sebelumnya, tidak ada masalah itu,” kata Kolonel Thit San.
Hanya warga yang memenuhi syaratlah yang mendaftar untuk pelatihan polisi, kata para pejabat Rakhine, kebijakan ini mengesampingkan 1,1 juta Muslim Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine, yang ditolak hak kewarganegaraannya di Myanmar karena mereka dianggap sebagai imigran ilegal Bengali dari Bangladesh.
Awalnya, 100 warga non-Muslim direkrut, Mereka berkisar berusia antara 18 dan 35 tahun dan akan menjalani program pelatihan selama 16 minggu, pembentukan ini dimulai di ibukota negara bagian Rakhine, Sittwe, bulan ini, kata Juru bicara Kepolisian. Ia pun menambahkan bahwa, Ratusan warga-non Muslim itu juga akan diberi senjata dan peralatan-peralatan lainnya “seperti polisi”.
Pemimpin politik etnis Rakhine telah mendesak pemerintah Myanmar untuk mempersenjatai umat Buddha, dengan dalih terhadap apa yang mereka katakan untuk meningkatkan militansi di antara Muslim Rohingya.
ICJ (International Commission of Jurists) mengatakan pasukan milisi non-Muslim tersebut sangat kurang dari segi pelatihan dan pengawasan untuk melakukan fungsi kepolisian sesuai dengan hak asasi manusia dan standar kepolisian profesional.
ICJ juga menyatakan bahwa tampaknya tidak ada “mekanisme akuntabilitas” di tempat untuk menangani kasus pelanggaran dan pelanggaran HAM yang berpotensi akan dilakukan para milisi non-muslim bentukan pemerintah Rakhine itu, ICJ menyerukan pembentukan kepolisian yang profesional. [IZ]