JAKARTA, (Panjimas.com) – Salah besar apabila ada yang menilai aksi 4 November adalah aksi FPI. Sebab, sejatinya bukan hanya FPI. Aksi ini akan dihadiri ratusan ribu orang, dari berbagai elemen. Buruh satu diantara berbagai elemen yang akan hadir. Mereka menamakan dirinya Gerakan Pekerja Indonesia (GPI). Dalam aksi ini, GPI mengambil titik kumpul di Bundaran Patung Kuda jam 10.30 wib.
Keterlibatan kaum buruh dalam aksi 4 November semakin menegaskan, bahwa aksi ini merupakan aksi lintas element. Oleh karenanya, tidak bisa dikerdilkan sebagai aksi yang dilakukan satu element saja.” Ujar Presdium Gerakan Pekerja Indonesia (GPI) Muhamad Rusdi Kamis, (3/11).
Setiap aksi pasti akan mendatangkan reaksi. Pro dan kontra wajar saja terjadi. Termasuk ketika ada yang mempertanyakan, ngapain buruh ikut-ikutan dalam aksi 4 November?
Bagi gerakan buruh, aksi adalah makanan sehari-hari. Ibarat kata, apapun masalahnya, bagi buruh aksi adalah jawabannya.
“Terkait Ahok, tak terhitung berapa kali aksi yang sudah dilakukan oleh kaum buruh. Jauh sebelum ini, buruh mendemo Ahok karena dugaan sejumlah korupsi yang dilakukannya. Tidak hanya di Balaikota, aksi buruh juga dilakukan hingga ke kantor KPK. Bukan hanya sekali dua kali aksi seperti ini dilakukan. Catat baik-baik, ini bukan aksi terkait ras atau agama.” Katanya.
Buruh juga kembali bergerak ketika Ahok melakukan penggusuran dan mendukung reklamasi. Bahkan sekali waktu melakukan seminar untuk menyoroti kebijakan reklamasi yang memporak-porandakan kehidupan nelayan itu. Sebagai bentuk solidaritas, dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI tahun ini, buruh menyelenggarakannya di Pasar Ikan. Di atas reruntuhan rumah warga yang digusur. Sekali lagi, ini bukan aksi terkait ras dan agama.
Tuntutan terhadap upah layak, jangan ditanya. Tak terbilang aksi buruh yang dilakukan. Itulah yang kemudian beberapa hari lalu buruh memberi gelar kepada Ahok sebagai: Bapak Upah Murah dan Bapak Tukang Gusur Rakyat Kecil.
GPI setuju satu hal, bahwa buruh adalah bahasa universal. Buruh, lebih tepatnya serikat buruh, tidak bisa disekat berdasarkan suku, adat, ras, maupun agama. Ketika kita berjuang upah layak, kita tidak akan bertanya terlebih dahulu darimana asal suku dan apa agamanya. Dalam kesatuan itu buruh bergerak. Menuntut dan menuntut. Memenuhi tugas sejarah sebagai pembebas kaum yang tertindas.
Tentu kita sepakat, tidak seorang pun boleh menistakan agama apa pun. Bahkan jika dia memiliki kedudukan terhormat, sebagai Gubernur, misalnya. Sudahlah menggusur, memberikan upah murah, menistakan agama lagi. GPI bisa mengerti kemarahan ini. Sekali lagi, buruh tidak membedakan SARA – dan karena itu buruh marah ketika ada yang mengangkanginya. Satu hal, yang kemudian buruh menyematkan satu lagi gelar kepada Ahok: Bapak Penista Agama.
Masalahnya adalah, bahwa Ahok seperti tidak tersentuh hukum sama sekali. Dalam kasus dugaan korupsi, meskipun BPK sudah mengatakan ada kerugian, tetapi Ahok bisa melenggang dengan aman. Hal yang sama kemudian terjadi dalam kasus penistaan agama. Meskipun sudah banyak pihak yang melaporkan, tetapi proses hukum terkesan berjalan lambat. Dalam hal ini, banyak yang menduga Ahok mendapat perlindungan dari Istana.
Dalam keterangan resminya, GPI menyatakan aksi itu untuk meminta Presiden Joko Widodo bertindak tegas, tidak tebang pilih dan tidak melakukan pembelaan terhadap pelaku penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama. GPI menuntut proses hukum yang adil dan transparan terhadap penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Gubernur DKI itu.
“Itu artinya, kita harus memaknai gerakan 4 November merupakan aksi untuk menegakkan keadilan.” Tegasnya.
Jika buruh menolak tax amnesty karena merasa prinsip equality before the law tercederai, hal yang sama juga mengusik kaum buruh dalam kasus penistaan agama ini. Ahok memang belum terbukti melakukan penistaan agama, tetapi karena ada yang melaporkan adanya dugaan itu, harusnya dia segera diadili.
Kasus begini, jika dilakukan oleh orang kecil akan berjalan cepat. Tetapi giliran Ahok, mengapa terkesan lambat dan bahkan jalan di tempat?
Ada yang mengatakan, harusnya kasus ini diserahkan saja kepada pihak kepolisian, toh (katanya) prosesnya masih berjalan. Tetapi publik terlanjur kecewa. Seperti halnya dugaan korupsi yang menguap begitu saja, jika tidak ada gerakan rakyat untuk mengawal kasus penistaan ini, kita khawatir hal yang sama akan terjadi. [RN]