ARAKAN, (Panjimas.com) – Sumber-sumber yang dekat dengan umat Muslim Rohingya baru-baru ini telah mendokumentasikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah Budha Myanmar selama satu bulan terakhir terhadap minoritas (Rohingya) yang paling teraniaya di dunia menurut PBB itu, dilansir oleh IINA.
Arakani Observatory melalui akun twitter-nya mencuit bahwa pasukan pemerintah Myanmar selama bulan Oktober saja, telah membakar 6 desa Muslim Rohingya di negara bagian Arakan serta menewaskan sedikitnya 65 Muslim dan menangkap beberapa korban Muslim lainnya.
Arakani Observatory merilis gambar-gambar ibu-ibu beserta anaknya di jalanan setelah rumah-rumah mereka dibakar oleh tentara Buddha Myanmar,
Fakta tak terbantahkan yang ditunjukkan Arkani Observatory ini membuktian secara nyata bahwa penolakan keterlibatan pemerintah dalam pembakaran desa-desa Muslim Rohingya.
Pihak Arkani Observatory juga menerbitkan upaya banding ke masyarakat internasional atas nama Muslim Rohingya dengan menyatakan: “Di mana kami (Rohingya) akan menetap sekarang setelah kami dipaksa keluar dari rumah-rumah kami yang dibakar . . . Dan apa yang akan kami makan setelah sumber mata pencaharian kami juga dibakar?”.
Sejak konflik meletus awal tahun 2012, sekitar 150.000 Rohingya telah mengungsi dan tinggal di 67 kamp-kamp pengungsian terbatas dan telah ditolak negara hak-hak kebebasannya untuk bergerak. Selain itu, setidaknya 160 jiwa, sebagian besar adalah Muslim Rohingya, tewas dalam bentrokan antara umat Buddha dan Muslim di wilayah itu.
Walau tindakan diskriminasi sangat kentara dan diketahui luas oleh masyarakat internasional, pemerintah Myanmar terus membantah adanya diskriminasi terhadap minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai minoritas etnis dan malah mengklasifikasikan mereka sebagai orang Bengali. Kebanyakan Muslim Rohingya menolak istilah pemerintah itu, dan banyak dari keluarga Muslim Rohingya telah tinggal di Rakhine selama beberapa generasi.
Mereka juga memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan dan sering mengalami penahanan sewenang-wenang dan perpajakan, kerja paksa, dan penyitaan properti, mengutip laporan Human Rights Watch (HRW). [IZ]