JAKARTA (Panjimas.com) – Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab mengungkapkan pernyataan telak, mengapa Sukmawati Soekarno Putri, gagal paham soal Pancasila.
Menurut Habib Rizieq -sapaan akrabnya- hal itu wajar terjadi dan bisa dimaklumi, lantaran status pendidikan Sukmawati yang tak jelas, karena pernah terlibat kasus ijazah palsu.
“Pantas Sukmawati Soekarnoputeri gagal paham soal Pancasila, ternyata Ijazah SMAnya palsu. Pemalsu ijazah itu harus dipenjara selama 6 tahun. Akibat ijazah palsunya, nama Sukmawati dicoret KPU dan gagal menjadi caleg,” kata Imam Besar FPI dalam situs resminya HabibRizieq.com, Sabtu (29/10/2016).
Seperti diketahui, pada bulan November tahun 2008, kepolisian menetapkan mantan calon legislator dari Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Sukmawati Soekarno Putri, sebagai tersangka pemalsuan ijazah. Anak Proklamator Sukarno itu diancam penjara maksimal 6 tahun penjara.
“Dia diperiksa sebagai tersangka ijazah palsu,” ungkap Direktur I Keamanan Trans Nasional Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Badrodin Haiti, saat itu, seperti dikutip Viva.co.id, Kamis, 13 November 2008.
Dalam pemeriksaan pertamanya yang berlangsung dari pukul 10.00 sampai pukul 15.45 Waktu Indonesia Barat, Sukmawati tak mengakui telah memalsukan ijazah Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Jakarta. Namun polisi tak bisa mempercayai ijazahnya karena pihak sekolah telah mengkonfirmasi “Kalau dia sekolah di sana hanya kelas satu sampai dua.” “Tapi waktu kita tanya, ijazah aslinya, dia bilang hilang,” kata Badrodin.
Polisi menggunakan Undang-undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu untuk menjerat adik kandung Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Sukarno, itu. “Kalau nanti terbukti, dia akan dikenakan pasal 266 UU 10/2008 tentang pemalsuan dokumen. Tuduhannya itu. Tapi dia sekarang mengelak,” kata Badrodin. Namun polisi akan terus mendalami dengan melanjutkan memeriksa sejumlah saksi.
Untuk diketahui pasal 266 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan dalam Pasal 73, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”
Namun anehnya, pihak aparat kepolisian waktu itu justru menghentikan penyidikan kasus dugaan ijazah palsu tersebut, padahal pidana maksimal 6 tahun penjara sudah menanti. [AW]