JAKARTA, (Panjimas.com) – Sebenarnya pertautan antara Islam dan Tionghoa bukanlah hal asing dan baru, namun keduanya telah terjalin dalam temali sejarah dan budaya yang panjang dan dalam.
Hanya saja di Indonesia hubungan antara umat Islam dan Tionghoa seolah berjarak jauh dan senjang, pandangan umum umum umat Islam etnik Tionghoa adalah “orang lain”, pendatang, suka hidup eksklusif, dan bahkan harus dijauhi kalau tidak dibenci.
Pembauran ini sudah dimulai aejak dulu, seperti kiprahnya Yayasan Karim Oei, dan berdirinya masjid Lautze, Yayasan PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) dan adanya salah satu Wali songo Indonesia keturunan Tionghoa yakni sunan Ampel.
Pembauran yang aktual kini ialah pembauran Warga Negara Indonesia keturunan Cina kedalam Masyarakat yang mayoritas pribumi indonesia supaya bisa masuk kedalamnya dan diterima sebagai “orang kita” oleh masyarakat luas bangsa Indonesia
Jika sudah diterima sebagai “orang kita” maka selesai sudah pembauran, Satu Nusa Satu Banga, Satu Bahasa itu.
Begitulah isi rangkuman dari buku yang berjudul “Rumah bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa”.
Buku yang ditulis oleh B.Wiwoho tersebut dibedah dengan menghadirkan pembicara yaitu Fuad Bawazir, Ridwan Saidi, Yudhi latif, Parni Hadi, Ust Helmi Yafie.
Acara yang diselenggarakan di Ruang Khalifah – Philanthropy Building Lt. 4 Jl. Warung Jati Barat No. 14 Pasar Minggu – Jakarta Selatan Rabu (26/10/2016). Dihadiri ratusan orang dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa, pada pembukaan pengarahan dibawakan sendiri oleh ketua Dhompet Dhuafa Republika Parni Hadi.
Pada kesempatan tersebut Fuad Bawazier memberikan pemaparannya, jangka panjang itu tidak menguntungkan bagi pembangunan. Yang namanya nasionalisme sungguh-sungguh itu mereka tidak banyak membantu kalau mereka bisa merubah betul menyatakan betul dengan bukti nyata bukan sekedar sebab maksudnya.
“Tapi diskriminasi melakukan tindakan SARA itu diputar balikan ada uang, jadi memang apalagi kelompok elitnya memanfaatkan situasi politik sekarang semuanya bisa pake uang. Jadi nanti semua pejabat itu dari Presiden sampai kebawah Bupati itu mandataris utang, mandataris yang punya duit bukan mandataris betul, dulu kan ada Mandataris MPR, sekarang yang mandataris yang punya duit banyak.” Ujarnya.
Tetap eklusifme itu masih kuat dan apakah buku ini bisa mengatasi hal-hal seperti itu ataukah teman-teman yang lain bisa mencegah hal itu saya rasa bukan pekerjaan indipenden, tanggung jawab kita semua untuk merubah semua itu. Bisa ya, kalau tidak memang selalu Api dalam sekam. [ES]